JAKARTA, KOMPAS.com - Cuaca ekstrem membuat para nelayan di kampung apung Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara tak bisa melaut.
Padahal, sebagian besar warga yang menghuni Kampung Pojok itu berprofesi sebagai nelayan di Teluk Jakarta.
Alhasil, sebagian besar warga pun tidak mendapatkan penghasilan selama cuaca ekstrem, yang diperkirakan masih akan berlangsung dalam sebulan ke depan.
Salah satu yang merasakan dampak cuaca ekstrem itu adalah Fadilah (60).
Dia mengatakan, suaminya tak bisa mencari nafkah di laut lepas lantaran ombak besar dan cuaca buruk yang terjadi sejak beberapa waktu lalu.
"Mencari ikan aja di sini agak susah. Cuaca kayak gini enggak ada yang berangkat melaut," ujar Fadilah saat ditemui, Senin (30/1/2023).
"Kalau keluar cuman habisin bensin aja, tapi enggak dapat ikan," sambung dia.
Oleh sebab itu, anak dan suaminya urung melaut di tengah cuaca ekstrem seperti sekarang ini.
Kemungkinan, kata Fadilah, aktivitas mencari ikan bakal dilakukan di akhir Februari 2023 mendatang.
"Kalau musim baratan kayak gini semua nelayan, termasuk keluarga saya enggak ke laut. Bahaya juga, suami saya udah tua jadi harus lihat cuaca kayak gimana," imbuh dia.
Sulit mendapatkan air bersih
Sesekali Fadilah memperbaiki letak kacamata yang digunakannya.
Ibu beranak enam ini juga mengasuh cucu-cucunya di rumah beralaskan bambu dan papan.
Di kampung apung Muara Baru, para warga mengaku sulit mendapatkan air bersih.
Mereka harus menyalur air melalui selang dari truk tangki air yang tak jauh dari lokasi perkampungan.
Sekali mengisi, setidaknya warga harus membayar antara Rp 3.000-Rp 20.000 bergantung pada wadah yang diisi air.
"Banyak keluh-kesahnya tinggal di sini, enggak cuman susah kalau cuaca buruk tapi juga air kurang layak dan harus beli di tangki," ucap Fadilah.
Berdasarkan pantauan di lokasi, air yang didapatkan warga tampak keruh.
Mereka biasanya menaruh air itu di drum dan jeriken plastik. Tak jarang, krisis air bersih ini memaksa warga untuk mengirit penggunaan air.
Kendati begitu, Fadilah bersama suami dan tiga cucunya memilih untuk menetap di rumah apung mereka lantaran jaraknya yang lebih dekat dengan laut.
Dengan begitu, perjalanan untuk mencari ikan jadi lebih dekat.
"Saya milih bertahan ya karena udah pencariannya begini, jadi nelayan. Saya kan hanya ngandelin suami yang nelayan," tuturnya diiringi tawa ringan.
Fadilah mengaku sudah 25 tahun tinggal di Kampung Pojok yang berada di sisi Teluk Jakarta.
Dia adalah salah satu penghuni pertama sejak kampung apung ini didirikan dengan bambu dan papan seadanya.
Fadilah menyampaikan, lantaran air merendam bambu dan kayu yang menjadi fondasi, tak jarang rumah di kampung itu roboh.
"Ada rumah yang roboh, pemiliknya lagi duduk langsung roboh. Ini kan juga baru dibangun," pungkas Fadilah.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/01/30/09102071/nasib-warga-kampung-apung-saat-cuaca-ekstrem-nihil-penghasilan-karena-tak
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan