JAKARTA, KOMPAS.com - Lonjakan harga sebagian besar komoditas pangan, khususnya di DKI Jakarta, tak terbendung pada awal bulan suci Ramadhan tahun ini.
Berdasarkan data Informasi Pangan Jakarta, harga beras medium tertinggi tercatat berada di Pasar Kalibaru yaitu Rp 13.000 per kilogram (kg).
Harga rawit merah tertinggi tercatat di Pasar Mayestik sebesar Rp 110.000 per kg. Sementara harga cabai rawit merah di Pasar Jembatan Merah juga masih tercatat Rp 100.000 per kg.
Harga telur ayam ras saat ini tercatat rata-rata Rp 32.000 per kg dengan harga tertinggi Rp 32.000 per kg di Pasar Pluit. Harga telur juga masih tinggi di Pasar Grogol Rp 31.000 per kg.
Kenaikan harga pangan ini membuat pedagang kesulitan dan pembeli harus putar otak untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Dikeluhkan pedagang dan pembeli
Kenaikan harga sejumlah komoditas pangan ini membuat para pedagang di pasar mengeluh. Salah satu pedagang di Pasar Minggu, Budi, mengeluhkan harga cabai rawit merah yang mencapai Rp 80.000 per kg.
Menurut Budi, harga cabai rawit merah biasanya hanya seharga Rp 50.000. Ia menuturkan, akibat dari naiknya harga cabai rawit merah ini, pembeli yang datang ke tokonya terlihat mengurangi kuantitas belanjanya.
"Pembeli tetap ada, cuma ya belinya enggak banyak," tutur Budi saat ditemui oleh Kompas.com di lokasi, Kamis (23/3/2023).
Kenaikan harga bawang putih dan merah juga dikeluhkan salah satu pedagang di Pasar Minggu, Yanto (57). Ia mengatakan harga bawang putih kini juga mencapai Rp 40.000 per kilogramnya.
"Sekarang Rp40.000 satu kilonya. Ya, kemarin naik ke Rp 32.000, sekarang Rp 40.000," ujarnya saat ditemui Kompas.com di lokasi.
Harga bahan pokok, terutama cabai, yang naik di Pasar Serpong, Tangerang Selatan, membuat pusing ibu rumah tangga (IRT) bernama Icha (28).
Meskipun mahal, Icha yang sudah memiliki anak dua, tetap membeli bahan pokok untuk kebutuhan makan keluarga kecilnya.
"Bikin makin susah ya karena ini kan bulan puasa serba mahal, sedangkan kebutuhan buat buka puasa sama sahur itu banyak," kata Icha di Pasar Serpong, Tangsel, Kamis.
Icha paham betul bahwa kenaikan harga ini biasa terjadi saat Ramadhan dan jelang Idul Fitri.
"Walaupun ini sudah jadi kebiasaan, harga selalu naik, ya tetap saja bikin emak-emak menjerit, kantongnya jebol," tutur dia.
Biang kerok lonjakan harga
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan ada beberapa hal yang membuat harga bahan pokok melonjak pada awal Ramadahan ini.
Dari segi cost push inflation, Bhima berujar, ada biaya logistik karena efek naiknya harga pupuk dan bahan bakar minyak bersubsidi. Akibatnya, harga pangan di tingkat petani biaya sudah naik.
"Kemudian rantai distribusi juga masih panjang, jadi marjin distributor yang gemuk berkontribusi pada sulitnya penurunan harga. Sekali naik, turunnya susah," tutur Bhima kepada Kompas.com, Kamis.
Kemudian, kebijakan impor beras juga terbukti tidak mampu menurunkan harga. Yang terjadi, kata Bhima, saat impor beras masuk justru memukul gabah petani yang panen raya.
"Sementara efek ke konsumen tidak ada penyesuaian harga ke bawah," ungkap Bhima.
Selain itu, tidak adanya efek demand pull atau kenaikan tingkat belanja membuat masyarakat selama ini menahan diri pada waktu pandemi.
"Begitu aktivitas mulai normal, yang terjadi permintaan naik, sementara kapasitas produksi pangan tidak bisa kejar kebutuhan," kata Bhima.
Dalam situasi ini, Bhima berujar pemerintah perlu memperkuat koordinasi antar daerah karena sebagian sudah panen cabai sebagian masih masa tanam.
"Jadi kepala daerah harus proaktif saling mengisi stok agar harga bisa lebih stabil," tutur Bhima.
Berikutnya, kata dia, pemerintah juga perlu memastikan satuan tugas (satgas) pangan bekerja efektif untuk mengawasi titik distribusi yang rawan.
"Bantuan dibanding bansos pangan bisa difokuskan ke keringanan biaya input petani termasuk subsidi pupuk," tutur Bhima.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/03/24/05000001/lonjakan-harga-pangan-tak-terbendung-pakar-beberkan-biang-keroknya-