JEO - News

Sepenggal Cerita
Lingkaran Setan
Narkoba, HIV, dan
Seks Tak Aman

Kamis, 25 Juli 2019 | 21:40 WIB

Penyalahgunaan narkoba berkelindan dengan perilaku seks tak aman kerap dipertemukan dalam simpul penyebaran HIV. Tak selalu dalam relasi serial, sebab-akibat, atau bahkan paralel. Namun, yang terdampak bisa siapa saja, bahkan ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak yang dilahirkannya. 

CERITA ini bakal buram dan muram. Namun, siapa saja yang lebih dapat memetik pelajaran, punya peluang untuk menghindari persoalan yang sama atau bahkan menjadi bagian dari solusi.

Ada kisah dari dunia pengguna obat-obatan terlarang. Ada pula cerita dari dunia rehabilitasi obat-obatan dan pendampingan bagi pelaku seks tak aman.

Meski, ini juga cerita tentang mereka yang menjadi bagian dari solusi. Penyebaran HIV pada anak jadi konsen yang mempertemukan semua cerita ini.

NAMA panggilannya Binyo. Lelaki di usia pertengahan 40 tahun.

Lebih dari separuh umurnya berkelindan dengan dunia obat-obatan terlarang. Mulai dari pelaku sampai jadi konselor.

Wajah, perawakan, penampilan, dan pembawaannya biasa saja. Tidak sangar, tidak pula lunglai. Terkesan sigap, malah.

Dari Binyo, salah kaprah bahwa narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) hanya menyambangi anak-anak dari keluarga bermasalah sontak terbantah.

"Siapa saja bisa kena. Kaya, miskin. Keluarga harmonis atau tidak. Alasannya, mau (makai narkoba) saja," ujar Binyo, saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu (21/7/2019).

Bagaimana tidak, Binyo lahir dari keluarga mapan. Ibunya aktif mengikuti kegiatan keagamaan. Mereka bukan broken home dan  komunikasi di antara anggota keluarga juga dekat. 

"Satu saja yang tidak pernah saya ceritakan ke ibu, yaitu kalau ada teman saya yang bermasalah."

Meski begitu, Binyo menemukan satu celah yang bisa jadi adalah kelemahan gambaran keluarga ideal yang membuat dia dulu bablas saja berurusan dengan obat-obatan terlarang.

"Satu saja yang tidak pernah saya ceritakan ke ibu, yaitu kalau ada teman saya yang bermasalah," kata Binyo.

Ketika sudah tercebur, semua menjadi samar-samar. Soal cara mendapatkan uang untuk membeli obat, sudah satu persoalan.

"Yang lebih parah, sudah tidak peduli lagi obat yang seharusnya ditelan jadi disuntikkan," kata Binyo.

Dan jangan salah, tegas Binyo, ada banyak jalur ilegal untuk mendapatkan obat-obatan yang seharusnya hanya beredar terbatas dan menggunakan resep dokter.

Kalau sudah level begitu, lanjut dia, urusan kesehatan dan keselamatan menjadi hal absurd.

"Sudah tidak peduli. Mereka tahu soal HIV dan biasa saja," kata dia.

Cerita Binyo soal obat-obatan terlarang dan peredarannya yang mengkhawatirkan, muncul juga dalam situs Rumah Cemara, dalam tulisan Patri Handoyo berjudul Masalah Putau Hari Ini.

Rumah Cemara adalah lembaga di Bandung, Jawa Barat, yang punya misi menampung, membantu menangani, advokasi, dan memberdayakan para mantan pengguna obat-obatan terlarang serta orang-orang dengan HIV/AIDS.

OBAT-OBATAN terlarang, dikenal juga dengan penyebutan narkotika dan obat-obatan terlaran (narkoba), merupakan salah satu jalur masuk utama penyebaran human  immunodeficiency viruses (HIV).

HIV merupakan virus yang bila keberadaannya dibiarkan begitu saja akan melemahkan daya tahan tubuh manusia. Tidak selalu HIV bermutasi menjadi AIDS, kependekan dari acquired immunodeficiency syndrome, tapi tetap saja ini harus dicegah dan ditangani.

Baca juga: Kenali Mitos dan Fakta HIV/AIDS, Biar Tak Gampang Kasih Stigma

Seks tidak aman menjadi pintu masuk yang lain. Miris adalah saat anak-anak bau kencur kedapatan menjadi pelaku aktif.

"Petugas kami di lapangan sampai kebingungan sendiri. Anak-anak SMP, SMA, datang mencari siapa yang bisa diajak berhubungan seks, bertanya harus bayar berapa," tutur Alit, pegiat yang berawal dari relawan di klinik rehabilitasi, Minggu.

Masalahnya, tutur Alit, anak-anak itu tidak paham sama sekali tentang seks tidak aman. Padahal, kata Alit, ada banyak anak seperti ini. Setidaknya itu merujuk sejumlah kegiatan yang pernah digelar lembaganya untuk sosialisasi pencegahan HIV di Bogor dan Jakarta.

Lebih mengenaskan lagi, tutur Alit, ketika seorang anak didapati hasil tes HIV-nya positif. 

"Shock itu pasti. Lalu ketakutan kalau orangtuanya tahu," ujar Alit, yang satu setengah tahun terakhir berkiprah bersama lembaga Pesona Jakarta.

Namun, sebut Alit, kasus anak yang menjadi pelaku aktif seks tidak aman dan sampai kedapatan HIV positif masih kecil populasinya saat ini. Yang terbanyak masih orang-orang dewasa.

Meski demikian, pendidikan seks senyatanya memang perlu diperbanyak. Itu justru untuk mencegah lebih banyak lagi anak-anak yang sama sekali tidak tahu soal seks—apalagi seks tidak aman—menjadi korban-korban berikutnya.

Satu hal yang Alit garis bawahi, tidak semua pelaku seks tidak aman dapat dikenali dari tampilan dan pembawaan fisiknya.

Dalam konteks penyebaran HIV, tampilan "normal" ini rentan menjadi jalur bebas hambatan. Para istri di rumah yang tidak tahu apa-apa sekalipun bisa ikut tertular. Ujungnya, anak-anak yang terlahir dari para ibu dalam kondisi ini juga yang jadi korban.

BARANG berharga kerap hilang dari rumah, mewarnai hampir setiap cerita terkait para pengguna obat-obatan terlarang.

Untuk keperluan liputan saja, Binyo berpesan satu hal kepada Kompas.com

"Jangan bawa benda-benda berharga ya," kata dia lugas.

Sekali terkena, aku Binyo, kebutuhan badan untuk lagi dan lagi mendapatkan obat-obatan tersebut melampaui beragam pikiran rasional.

"Bukan tidak tahu salah dan benar, tapi kebutuhan badannya lebih mendesak buat mereka," ujar Binyo.

Untuk beranjak dari dunia narkoba, dukungan sosial di sekitar pecandu tetap penting. Meskipun, optimisme berlebihan adalah tabu. 

"Dulu, saya pernah berhenti total selama lima tahun. Lalu situasi memburuk, saya makai lagi. Naik turun. Ini sebelum yang sekarang ya," kata Binyo.

Maksudnya, lanjut Binyo, upaya untuk mengentaskan diri dari obat-obatan terlarang akan banyak berurusan dengan upaya rehabilitasi serta dukungan sosial yang berkesinambungan.

"Keluarga, punya anak, itu bisa membantu memotivasi. Tapi tidak cukup juga kalau hanya itu," ujar dia, belajar dari pengalamannya.

CERITA Alit mendampingi para pelaku seks berisiko untuk mengikuti program sukarela memeriksakan diri HIV, cukup bikin kening berkerut. 

"Ada duitnya atau enggak? Itu respons yang sering muncul (dari pelaku yang kami dampingi)," kata Alit.

Setiap kali mengikuti program itu, tutur dia, memang ada uang transportasi Rp 50.000.

Banyak kejadian, ada yang hasil tesnya reaktif tetapi orangnya tidak mau datang lagi untuk menjalani pemeriksaan lanjutan termasuk pengobatan.

"Yang datang dan ikut sebenarnya itu-itu saja. Tapi tak mau diregistrasi. Demi uang transport," kata dia. 

Kalau di Ibu Kota saja persoalan duit ini jadi persoalan—apa pun motifnya—, terbayang juga situasi yang terjadi di daerah lain.

Setiap persoalan akses kesehatan hampir selalu diiringi dengan tantangan masalah akses ke fasilitas pelayanan kesehatan. Itu bahkan untuk sakit yang tak ada urusannya dengan stigma laiknya dihadapi orang-orang dengan HIV/AIDS.

MENCEGAH HIV MELUAS

MENTERI Kesehatan Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek menegaskan, mencegah HIV meluas itu perlu kerja semua kalangan.

Stigma hanya membuat orang-orang makin tidak menyadari bahwa dirinya pun berisiko terkena.

"Masyarakat harus menyadari ini," kata Nila dalam wawancara khusus, Selasa (16/7/2019).

Kita, tegas dia, harus memotong rantai penularan. Menurut Nila, ini merupakan tugas kita semua.

"Sekali lagi, nih, fenomena gunung es," ujar dia.

Misal, tutur Nila, seorang lelaki yang sebenarnya positif HIV tidak mau memeriksakan diri. Lalu, dia punya istri dan menularkan virus itu.

HIV dapat dikendalikan dengan pengobatan. Semakin cepat diketahui dan menjalani pengobatan, risiko penularan lebih lanjut dapat ditekan pula. 

Kasus HIV positif dengan pola penularan seperti itu banyak terjadi. Banyak ibu rumah tangga, sebut Nila, yang tidak tahu bahwa dia positif HIV karena tidak merasa pernah melakukan seks tak aman atau menggunakan jarum suntik tak steril.

"Itu yang harus kita putus rantai penularannya," ujar Nila.

Salah satu cara yang telah ditempuh, sebut dia, adalah merangkul komunitas dari kelompok berisiko. Tujuannya, mendorong pemeriksaan dan pengobatan. 

Nila menegaskan, HIV dapat dikendalikan dengan pengobatan. Semakin cepat diketahui dan menjalani pengobatan, risiko penularan lebih lanjut dapat ditekan pula. 

Lalu, pemerintah juga mendorong masyarakat dan ibu-ibu hamil untuk memeriksakan diri. Harapannya, kasus-kasus baru anak dengan HIV/AIDS pun dapat ditekan. 

Tapi kalau ibu hamil tidak mau diperiksa dan ternyata dia positif HIV, anaknya dapat tertular karena sang ibu tak menjalani pengobatan.

"Anak (dengan HIV/AIDS), dalam tanda kutip jadi korban. Dia tidak bersalah kok. Kalau juga kena stigma di lingkunganannya, kasihan mereka karena tidak bersalah dalam hal ini," ujar Nila.

 

Komisioner bidang kesehatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Dr Sitti Hikmahwatty, berpendapat ada banyak faktor yang membuat pencegahan penularan HIV belum mencapai target.

"(Dalam kasus penularan dari ibu kepada anak), kita tidak bisa menyalahkan ibu. Karena, kadang-kadang si ibu tidak tahu kalau dia HIV. Jadi banyak hal yang masih harus diperkuat. Koordinasi kita kurang kuat," ujarnya.

Di lain pihak, Hikmah menilai pada anak yang mulai remaja, paparan pornografi serta narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) juga harus dicegah untuk menekan penularan HIV.

Anak remaja yang terpapar pornografi atau menjadi korban kekerasan seksual, imbuh dia, lebih berisiko pula melakukan hubungan seksual tidak aman.

"Keterpaparan anak dari pornografi harus kita cegah, termasuk penanganan anak korban kekerasan harus sampai tuntas agar tidak ada korban baru," ujar dia.

Binyo pun menyebut ada banyak tantangan terkait pencegahan dan penanganan penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang berisiko pula memperluas penyebaran HIV.

Misal, sebut dia, pola penanganan dan pendekatan yang digunakan aparat terkait narkoba masih cenderung menerapkan pola lama saat booming penyalahgunaan heroin.

Padahal, kata dia, saat ini ada banyak produk turunan baru narkoba yang "lebih canggih".

Lalu, peredaran obat-obat keras juga harus dikaji ulang. Upaya rehabilitasi dan pengobatan, sebut Binyo, malah jadi celah kecanduan baru.

"Dan yang lebih bahaya, obat-obatan yang harusnya ditelan itu malah diracik dan disuntikkan (oleh pengguna). Kalau sudah sakaw (ketagihan obat), tak peduli juga jarum suntik siapa, tergeletak di situ asal dipakai," tutur Binyo.

Dari apa yang dia lihat dalam keseharian, penularan HIV melalui penyalahgunaan narkoba tetap harus menjadi kewaspadaan. 

"Katanya ada bantuan dana internasional dan segala macam itu, kami dari lingkungan para pengguna tak pernah dilibatkan untuk perencanaan strategi penanggulangannya," tambah Binyo.

Dia mengaku sudah banyak bicara dengan beragam komunitas yang masing-masing juga mengatakan tak pernah diajak terlibat. Dia menyebut, hanya ada segelintir kalangan yang bisa mengakses soal pendanaan ini dan tercium aroma "penguasaan" bagian dana bantuan.

"Kami berharap, kerja grup Kompas ini bisa berlanjut dengan diskusi yang benar melibatkan kami. Jangan hanya kalau skripsi mahasiswa atau peliputan saja kami ini didatangi tapi tak ada follow up lagi setelah itu," ungkap Binyo. 

TANTANGAN SINERGI

KEMENTERIAN Sosial adalah satu lagi kementerian yang punya tugas dan tanggung jawab terkait semua persoalan ini. Menampung dan melakukan pendampingan, ada di antaranya. 

Khusus penanganan HIV, Kementerian Sosial punya balai di Medan, Sumatera Utara; Ternate, Maluku Utara, dan Sukabumi, Jawa Barat. Sebelumnya, balai-balai ini hanya menangani orang dewasa dengan satu atau dua anak saja yang turut dirawat.

"Itu di bawah Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang," kata Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kanya Eka Santi, dalam wawancara telepon dengan wartawan Kompas, Deonisia Arlinta, Selasa (16/7/2019).

Kementerian Sosial, lanjut dia, juga memiliki 15 balai rehabilitasi sosial. Mulai tahun ini, semua balai itu mendapat tambahan tugas untuk menangani persoalan anak yang memerlukan perlindungan khusus, termasuk kasus HIV. 

"Kami sedang menyusun pedomannya, terus mengumpulkan mitra-mitra" ujar Kanya.

Kerja sama dengan mitra diperlukan untuk identifikasi dan mendorong mereka memasukkan data ke dalam sistem data terpadu kesejahteraan sosial.

Kerja sama dengan mitra, ungkap dia, diperlukan untuk identifikasi dan mendorong mereka memasukkan data ke dalam sistem data terpadu kesejahteraan sosial. Upaya yang dilakukan juga tidak serta merta memasukkan anak-anak ini ke balai milik Kementerian Sosial. 

Ada pula, sebut Kanya, upaya menjangkau anak-anak yang terpapar HIV. Informasi ada anak-anak positif HIV di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, disikapi Kementerian Sosial dengan meminta Balai Naibonat untuk menjangkau mereka, memberikan pendampingan, dan diajukan untuk mendapatkan dukungan kebutuhan dasar. 

"Meski mereka berada di keluarga (masing-masing), yang artinya tidak perlu masuk ke balai," ujar Kanya. 

Adapun untuk kasus diskriminasi terhadap anak dengan HIV di Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, dukungan Kementerian Sosial tidak hanya berupa advokasi tetapi juga berwujud tabungan sosial anak. 

Menurut Kanya, kebijakan baru yang tengah disusun akan lebih spesifik memastikan anak-anak yang terpapar HIV mendapatkan bantuan dari Kementerian Sosial. 

"Ini sedang berproses," ujar Kanya. 

Salah satu yang tengah dipersiapkan adalah mekanisme pendistribusian bantuan melalui perbankan pemerintah. Jejaring dengan mitra kerja juga akan diperkuat, terutama untuk kasus-kasus yang butuh penanganan segera, seperti penampungan. 

Diskriminasi dan stigma

Diskriminasi dan stigma, diakui Kanya juga menjadi bagian dari tantangan upaya Kementerian Sosial terkait anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti anak dengan HIV.

"Pekerjaan kami itu sifatnya holistik dan kontinu. Kami enggak bisa nyentuh anaknya doang, tapi kami (juga) menyentuh keluarganya, komunitasnya, masyarakatnya," ujar Kanya.

Agar anak-anak ini tetap mendapatkan hak mereka, interaksi dengan keluarga tetap harus dijalin. 

"Seperti di Sumba itu, ada yang sudah tidak punya keluarga atau keluarganya tidak mau mengasuh. Tapi kan ada keluarga besarnya. Saya katakan, tolong keluarga besarnya tetap mau mengasuh," ujar dia sembari mengatakan itu bukan hal mudah. 

Baca juga: ADHA, Menantang Arus Deras Stigma HIV/AIDS

Kasus di Medan, Sumatera Utara, lanjut Kanya, juga akhirnya dipilih solusi mengirimkan anak-anak dengan HIV ke Yayasan Lentera. 

"Jadi pendekatan itu juga untuk awareness. Ini ada anak begini di depan mata kita, kita enggak boleh tutup mata," tegas Kanya. 

Sosialisasi untuk menekan praktik diskriminasi juga mendesak dilakukan, ujar Kanya, meski yang menangani di Kementerian Sosial berbeda lagi direktoratnya. Di dalamnya termasuk edukasi tentang salah kaprah mitos penyebaran HIV. 

"Sekarang, semua pihak harus bergerak. Sekarang kan banyak anak yang statusnya (positif HIV) ditutup, (karena) kalau statusnya dibuka enggak bisa sekolah mereka," ujar Kanya.

Baca juga: Stop Diskriminasi Anak dengan HIV di Sekolah

Kasus di Solo jadi contoh kasus terkini. Menurut Kanya, semua kalangan harus turun tangan untuk memastikan hak anak terpenuhi sekalipun dia positif HIV, agar beragam upaya edukasi yang telah dilakukan tidak sia-sia.

"Saya, misalnya, dengan teman-teman sudah bicara dengan keluarga. OK, keluarga mau mengasuh. Nah, saya sudah ngomong dengan masyarakat sekitar. OK, masyarakat sekitar tahu bahwa ini ada. Tapi begitu dia keluar (dari lingkungannya), digituin sama komunitas lain, wah...," tutur Kanya.

Kanya mengakui, peran kementeriannya terbatas di cakupan memastikan pemenuhan kebutuhan sosial. Yang itu artinya anak-anak dengan HIV positif dapat hidup dengan baik di lingkungannya. Menurut dia, kementerian lain juga harus ikut turun tangan dan bersinergi sesuai tugas dan kewenangan masing-masing.

"Kami bekerja memastikan tidak ada stigma, diskriminasi seperti itu. Tapi ketika kami mendorong itu, kami sampaikan, (kemudian semisal) pihak sekolah tidak bekerja, RS tidak bekerja, pihak lain tidak bekerja, itu susah," ujar Kanya memberikan ilustrasi.

Sejumlah lembaga dan komunitas sudah digandeng Kementerian Sosial. Pelita Ilmu di Jakarta, Yayasan Cemara di Bandung, Lentera di Solo, ada di antara yang disebut. Tantangan berikutnya adalah soal data, agar penanganan terpadu bisa terlaksana optimal. 

Dukungan kapabilitas

Rencananya, akan ada bantuan baru berupa dana Rp 1 juta per anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan HIV, untuk satu tahun. Nominal ini di luar kebutuhan untuk pendidikan. 

"Ini untuk anaknya sendiri. Misalnya anak butuh penambahan gizi, seperti itu. Atau mungkin anak butuh katakan saja (aktivitas) rekreatif," kata Kanya.

Dana itu juga dipakai untuk peningkatan kapabilitas anak dan peningkatan kapasitas pengasuhan (parenting) para orangtua agar anak-anak dengan HIV tetap sehat.

"Dalam arti anak itu walaupun dia ada (HIV) tapi dia punya konsep diri yang baik. Bahwa saya percaya diri, bisa sehat seperti itu," ungkap Kanya.

Adapun modul parenting biasanya dikelola melalui lembaga mitra. Misal, ada 30 anak yang ditangani suatu lembaga, dana Rp 30 juta dipakai juga untuk mengedukasi orangtua. 

"Itu semua kami awasi. Jangan sampai uang itu disalahgunakan. Sudah sedikit kok disalahgunakan?" ujar dia. 

Targetnya, bantuan sudah akan dapat didistribusikan melalui salah satu bank pemerintah mulai Agustus 2019. Meskipun, imbuh Kanya, dana serupa sebenarnya tahun lalu sudah digulirkan lewat skema tabungan sosial anak.

"Sekarang ini ada penambahan penguatan karena ada yang kami sebut penguatan melalui terapi. Kalau ada orangtuanya bermasalah, misalnya, kami lakukan terapi psikososial," ujar dia. 

Nah, kalau mereka yang telah dan berisiko terpapar HIV sudah mulai mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah, akankah kita sebagai masyarakat tetap abai dan memperlakukan mereka seolah ada di dunia berbeda?

Baca juga: Lawan Stigma, Rangkul Anak dengan HIV/AIDS

Haruskah kita berada di lingkaran persoalan terlebih dahulu untuk mau tergerak menjadi bagian dari solusi? Tidakkah bersama-sama mencegah dengan memahami duduk perkara dan memutus rantai persoalan akan lebih menghemat banyak tenaga dan sumber daya?

Jawabannya ada di kita semua. Karena bila tidak, lingkaran setan persoalan itu akan terus mengitari kita juga....

**Artikel ini merupakan bagian dari peliputan bersama Kompas.com dengan harian Kompas, Kompas TV, dan Kontan. #4K #VoiceForVoiceless #RangkulADHA