Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batavia Cafe, Menggiring Imajinasi ke Masa Lampau

Kompas.com - 10/01/2008, 22:50 WIB

Menapak anak tangga ke lantai dua Batavia Cafe, kita serasa berada di Eropa. Lekuk bangunan itu membangkitkan ingatan pengunjung yang pernah tinggal atau berkunjung ke negara-negara Eropa atau Belanda, khususnya.

Di kafe itu mata kita dihadang puluhan foto hasil jepretan pada pertengahan abad ke-18 sampai awal abad ke-19. Foto-foto itu dipajang di depan tembok berwarna krem putih pucat. Sebagian cahaya lampu kristal lama yang tak begitu terang jatuh ke permukaan kaca bingkai foto.

Sampai lantai dua, kita seperti dibawa ke suasana di awal abad ke-19. Perabotan, vas, bar dan perangkatnya, lampu-lampu tembok dan plafon yang digantungi kain terawangan warna putih, semuanya seperti ingin membangun kenangan masa kolonial Belanda di Batavia.

Memang ada beberapa set sofa pendek dan lebar yang desainnya sudah lebih modern di beberapa sudut ruang, tetapi tak mengganggu kesan umum karena tenggelam dengan banyak foto dari masa lalu. Batavia Cafe yang terletak di Jalan Pintu Besar Utara, Jakarta, memang merupakan bangunan tua yang dibangun tahun 1837, tujuh tahun setelah gedung Balaikota Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di seberangnya dibangun.

Dulu bangunan itu pernah jadi kantor pemerintahan kolonial Belanda sebelum dibeli seorang saudagar Arab. Tahun 1990, Paul Hassan, orang Perancis teman dekat mantan Menteri Pendidikan Fuad Hassan, membelinya. Paul menjadikan bangunan ini sebagai galeri lukisan. "Februari 1991 bangunan ini saya beli," ungkap pemilik Batavia Cafe, Eka Chandra, dalam sebuah percakapan di sela-sela makan malam di lantai bawah kafe itu. Malam itu ia menuangkan anggur Camanere ke gelas beberapa mitra bisnisnya.

Di meja tersaji menu andalan kafe: bebek peking, ayam cabai kering, sapo tahu, sup udang galah, dan iga domba panggang dari Selandia Baru dengan sayur dan kentang pesto (rack of tender New Zealand baby lamb with crusted vegetables, pesto potatoes).

Masih ada menu andalan kafe, alpukat salad roti saus paprika (avocado dome, Tuscan bread, red capsicum coulis), udang lobster keju parmesan dibakar dengan api di atas (lobster thermidor), daging sapi khas dalam dari Australia dengan lelehan keju cheddar (Australian veef tenderloin medallion topped with melted cheddar), dan sapi muda dari Belanda. Kafenya memiliki 60 meja dengan 250 kursi. Mayoritas pengunjung kafe adalah wisatawan asing.

Pengalaman mistik

Ketika merenovasi bangunan itu tahun 1992, Eka sempat kaget. Ternyata ada sebuah lorong penjara bawah tanah yang menghubungkan bangunannya dengan gedung balaikota. "Ketika kami hendak menutup lorong tersebut, kami melihat tumpukan tulang belulang di lorong penjara," ucap Eka.

Kisah ini lalu ia hubungkan dengan pengalaman mistik sejumlah wisatawan asing, terutama dari Belanda, Australia, dan Jepang, saat berkunjung ke kafe. "Mereka melihat sosok seorang perempuan pribumi. Perempuan itu berbusana kebaya merah, seorang nyai, istri simpanan pejabat Belanda dulu," tuturnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com