Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keteguhan Bunda Dampingi Dewa: 'Ibu, Aku Bisa Hidup Karena Cinta' (1)

Kompas.com - 20/10/2008, 18:50 WIB

Punya anak cacat bukan sebuah petaka. Demikian keyakinan Poppy Devita Maharani (33) dan Goyantara Imam Soepardi (35), memaknai kehadiran buah hati yang mengalami Cerebral Palsy atau kerusakan otak.

Keteguhan dilandasi cinta orangtua ini tak dinyana membuat Dewa (5), sang anak, bisa tumbuh-kembang dengan luar biasa. Dijumpai di rumahnya di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Poppy bercerita tentang hari-harinya yang penuh warna bersama Dewa tercinta.

Meski dikaruniai buah hati yang mengalami kerusakan otak dan fisik atau Cerebral Palsy (CP) sedari lahir, aku dan suami selalu berusaha berpikir positif. Toh, hidup tidak berhenti, bukan? Aku tak mau terus menoleh ke belakang. Sebaliknya, harus menatap ke depan. Ini demi Dewa (5), anak kami.

Banyak yang berpikir, sungguh berat punya anak CP. Dugaan mereka, enggak mungkin anak seperti ini bisa berkembang dan sanggup menangkap banyak hal. Namun terbukti, Tuhan memberi jalan pada kami. Sekarang Dewa bahkan bisa diajak berkomunikasi. Ia juga sanggup menuliskan ide-idenya lewat alat yang disebut facilitator communication (FC). Bahkan, ada penerbit yang sudah bersedia menerbitkan karya-karya Dewa dalam bentuk buku.

Aku dan suami tak peduli seandainya ada orang yang tak memercayai kemampuan Dewa. Kami amat maklum. Yang pasti, aku, suami, dan keluarga besar kami bahagia dengan perkembangan Dewa. Hal ini membuat perubahan besar dalam keluarga besar kami. Aku percaya sungguh, suatu saat Dewa bisa mandiri, meski fisiknya mungkin tak sempura.

Pendarahan Hebat

Ketika Dewa dalam kandungan, aku merasa tak ada yang aneh. Semuanya berjalan biasa saja. Aku selalu rutin kontrol ke dokter. Kujaga kandungan baik-baik. Maklum, ini adalah buah cinta kami yang pertama. Waktu itu aku bekerja di sebuah perusahaan pialang. Aku juga punya usaha dekorator perkawinan. Suamiku yang mengelola perusahaan pengembang perumahan, juga tengah sibuk-sibuknya mengelola usaha yang dirintisnya. Dalam kondisi seperti itu, aku tak mau terlalu banyak mengganggu suami. Untuk urusan pekerjaan atau ke dokter, aku minta ditemani sopir.

Sampai akhirnya usia kandunganku menginjak tujuh bulan. Pada saat itu, keluargaku disibukkan dengan perkawinan kakakku di Padang. Semua keluarga di sana, kecuali aku, suami, dan Ibu. Aku hamil besar, sedang Ibu tak bisa bepergian karena sakit ginjal. Waktu ditinggal ke Padang, Ibu dirawat di rumah.

Pada saat tidak ada siapa-siapa di rumah, Ibu anfal. Aku yang tengah mengerjakan sebuah proyek yang jatuhnya pas week end itu jadi panik. Terpaksa pontang-panting mengurus Ibu, membawanya ke rumah sakit. Ditambah stres memikirkan pekerjaan, semua jadi tampak berat. Beberapa hari kemudian, Ibu meninggal. Jasadnya dimakamkan di Bandung. Esoknya, aku harus balik lagi ke Jakarta.

Tak lama kemudian, aku mengalami perdarahan hebat. Sekitar tiga minggu dirawat di rumah sakit (RS), perdarahan tak bisa berhenti. Segala jenis obat dari dokter sudah kuminum, tetap saja tak mempan. Aku benar-benar harus bed rest. Sempat aku rawat jalan. Sewaktu di rumah itulah pecah ketuban. Kembali aku masuk RS. Sehari kemudian, persisnya 21 Maret 2003, aku melahirkan bayi lelaki yang kemudian kami beri nama Dewantara Soepardi, dengan panggilan sayang Dewa.

Berangsur kesehatanku membaik. Dewa pun tampak tumbuh seperti bayi-bayi lainnya, atau mungkin aku yang enggak paham perkembangan bayi. Aku memang tak punya patokan pasti, bagaimana bayi tumbuh. Dewa merupakan cucu pertama dalam keluargaku. Ibu juga sudah meninggal, sedangkan ibu mertua seorang bussiness woman yang sibuk.

Namun, ketika Dewa berusia 3-4 bulan, aku mulai curiga. Dewa punya sepupu yang usianya beda tujuh hari, namun perkembangannya jauh berbeda. Hal-hal kecil, memang. Misalnya saja, Dewa belum bisa angkat kepala atau berguling seperti sepupunya.

Terkadang, sekian detik Dewa kejang, setelah itu biasa lagi. Keanehan lain, saat digendong Dewa seperti melawan, sehingga susah sekali. Bayi lain, kan, tubuhnya mengikuti. Sampai akhirnya mertua bilang, "Coba, deh, diperiksain ke dokter."

Ketika Dewa berusia lima bulan, kubawa ke dokter saraf anak. Lewat sejumlah pemeriksaan, termasuk scan kepala, dokter mendiagnosis Dewa menderita CP tipe Quadriplegia, karena memang kedua tangan dan kaki Dewa tidak bisa bergerak. Kalau didiamkan di lantai, misalnya, Dewa memang tidak bisa bergeser dari tempatnya.

Sejujurnya, aku sempat frustrasi dan bingung sekali. Apalagi sempat kudengar kabar, otak Dewa tidak berkembang. Mungkinkah ini disebabkan aku terlalu stres ketika melahirkan Dewa? Apalagi, waktu itu, Dewa sempat berhenti napas sekian detik saat diadzani. Mungkinkah karena kurang oksigen, pembuluh darah di otak menjadi pecah?

Tapi, seperti sudah kukatakan, aku tak hendak menoleh ke belakang. Mending aku mikir untuk masa depan Dewa. Apa pun kondisinya, aku akan memberikan yang terbaik untuk anakku. Agar lebih konsentrasi menjaga Dewa, kutinggalkan pekerjaan di perusahaan pialang.

Orang Tua Guru Terbaik

Mulailah Dewa menjalani fisioterapi. Tak hanya itu, aku juga mencoba pengobatan alternatif ke shinse. Oleh shinse, kepala Dewa seperti dialiri energi. Setelah itu, Dewa mengeluarkan keringat cukup banyak. Yang melegakan, shinse berkata, "Otak Dewa berkembang, kok, meski memang ada keterlambatan." Informasi ini tentu cukup membahagiakan. Apalagi, ketika kembali kuperiksakan, dokter juga mengatakan hal sama.

Demi kesembuhan Dewa, aku makin giat mencari informasi tentang CP. Baik lewat buku maupun browsing di internet. Kucari informasi tempat terapi CP yang baik. Dari semua informasi yang kudapat, rata-rata hanya fisioterapi yang melatih fisik. Lalu bagaimana dengan intelegensia, kemampuan bicara, dan perilakunya? Akhirnya kuperoleh info, di Indonesia ada tempat yang bagus, di kawasan Lebak Bulus. Di sana cukup integrated. Kubawa Dewa ke sana. Aku pun jadi kian paham tentang CP. Salah satu yang penting, aku mesti melatih intelegensia Dewa.

Kubacakan cerita apa saja untuk Dewa. Termasuk membacakan buku Kahlil Gibran dan William Shakespeare. Kulatih dia memahami benda, misalnya lewat gambar. Kuperkenalkan nama buah dan hewan. Yang menggembirakan, mesti tidak sanggup jelas bersuara, Dewa bisa meniru kata meski hanya ujungnya.

Satu hal yang mengagetkanku, ternyata daya ingat Dewa begitu kuat. Aku menyadarinya suatu hari, saat dalam perjalanan dari Tebet menuju tempat terapi. Perjalanan, kan, butuh sejam lebih. Nah, sepanjang perjalanan, kutanya Dewa macam-macam. Misalnya, binatang apa yang berbelalai? Apa bahasa Inggirsnya bintang? Dia bisa menjawab sekitar 50 pertanyaan yang kuajukan tanpa salah, meski kata yang keluar hanya ujungnya.

Hanya saja, saat kubawa Dewa ke psikolog anak untuk mengetahui IQ-nya, aku sempat kecil hati karena Dewa tak mau menjawab pertanyaan psikolog. Ia diam saja. Sang psikolog mengatakan, Dewa seperti anak-anak CP lainnya. Belakangan aku paham, Dewa diam saja karena situasi di tempat psikolog tidak sesuai dengan perasaan hatinya. Dan benar, ketika sampai rumah, Dewa kembali bisa menjawab pertanyaanku.

Aku pun terbang ke Singapura mengikuti training satu minggu yang diadakan Glenn dari Philadelphia, AS. Wow, aku seperti melihat jalan terang. Bayangkan, aku menyaksikan ada anak Down Syndrome bisa membaca dalam tujuh bahasa! Ada pula anak autis yang bisa berinteraksi dengan baik.

Intinya, anak-anak itu bisa berkembang dengan baik setelah mengikuti metoda Glenn. Mungkin inilah yang kucari. Kupikir, kalau anak-anak itu bisa, artinya Dewa juga. Sebagai penganut positive thinking, aku yakin Dewa akan berhasil. Hanya saja, karena ingin mendapatkan hasil maksimal, aku memilih membawa Dewa langsung ke Evan Thomas Institute, Philadelphia.

Alhamdulillah, kami sekeluarga dikaruniai rezeki yang cukup. Dengan penuh semangat aku dan suami membawa Dewa terbang ke Philadelphia. Satu hal penting yang kupelajari, guru terbaik buat anak CP adalah orangtuanya. Itu sebabnya, aku dan suami harus ikut hadir dalam setiap sesi pelatihan. Selama di sana, kami mendapat begitu banyak metode untuk mengajari Dewa yang langsung kami praktikkan untuk melatih Dewa.

Pelatihannya macam-macam. Mulai fisik sampai intelegensia. Untuk fisik, Dewa harus berlatih merayap, sedangkan intelegensia Dewa harus dilatih membaca. Sesampai di rumah, program itu kami terapkan. Langkah awal, Dewa harus bisa baca dulu. Kuperkenalkan Dewa dengan huruf dan buku. Yang paling penting adalah pengenalan ensiklopedi sebanyak-banyaknya. Mulai dari ensiklopedi pemusik klasik seperti Mozart dan Beethoven, sampai ke ensiklopedi hewan, bahkan jenis-jenis sel manusia.

Saat belajar baca, aku memulai dengan yang Dewa suka. Dulu, dia suka sekali lagu Naik Delman. Nah, untuk mengajar baca, kutulis delman, kusir, kuda, roda, dan seterusnya. Dewa juga suka bahasa-bahasa yang sudah familiar. Setelah bisa baca, sesuai metode, dia mesti baca buku setidaknya satu buku sehari. Cara dia membaca tidak sama dengan kita. Dewa punya kemampuan photographic memory, memahami satu halaman tulisan hanya dalam waktu tak lebih dari lima detik. Jadi, satu buku tebal bisa dia selesaikan dalam waktu satu jam. Aku yang membantu membuka lembaran buku itu.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com