Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

1001 Kisah Tentang Gedung Sate

Kompas.com - 20/12/2008, 21:50 WIB

Banyak cerita yang berkembang seputar pendirian Gedung Sate. Yanto Rukmana, petugas keamanan gedung, mengaku banyak mendengar kisah bahwa Gedung Sate didirikan tanpa semen sedikit pun. Bahkan, untuk melekatkan batu bata hanya digunakan putih telur yang dicampur dengan tumbukan batu kapur dan pasir. "Batu-batunya pun diambil khusus dari pegunungan Arcamanik dan Gunung Manglayang dengan kereta gantung menuruni perbukitan Bandung utara," kata Yanto.

Karena kekuatannya, dinding Gedung Sate pun tak mempan dilubangi dengan paku besi biasa. "Dindingnya harus dilubangi dengan mesin bor terlebih dahulu baru bisa dimasuki paku," kata Kepala Bagian Humas Pemprov Jabar Yanto Subiyanto.

Selain konstruksi yang kuat, Gedung Sate juga dibangun dengan pertimbangan strategis. Pada setiap pojok kiri bangunan, misalnya, selalu ditemui lorong menuju lantai lebih bawah. Keberadaan lorong itu diduga sebagai jalan untuk melarikan diri dalam keadaan darurat.

Bahkan, terdapat lorong bawah tanah yang menghubungkan bangunan induk Gedung Sate dengan bangunan sayap kiri yang sekarang ditempati PT Pos Indonesia dan PT Telekomunikasi Indonesia. Lorong itu ditemui di lantai dasar Gedung Sate, yakni berada di dinding belakang ruangan yang kini dipakai sebagai perpustakaan.

Cerita-cerita unik terkait dengan pembangunan Gedung Sate menambah penasaran setiap orang untuk mengunjungi bangunan bersejarah itu. (REK)

Gedung Sate, Sejarah dan Wisata

Oleh Rini Kustiasih

Suasana kolonial yang kental segera merasuki pikiran ketika melangkahkan kaki memasuki Gedung Sate di Jalan Diponegoro, Kota Bandung. Gedung megah karya arsitek Belanda J Berger itu pun membawa serta kengerian tentang kisah ribuan penduduk yang bekerja membangun gedung itu selama empat tahun sejak 1920.

Nama asli gedung yang direncanakan sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda itu ialah Gouvernements Bedrijven. Masyarakat awam di Bandung kemudian lebih senang menyebutnya sebagai Gedung Sate. Sebab, terdapat enam tusuk bulatan menyerupai sate di puncak menara gedung. Enam bulatan itu sesungguhnya menyimbolkan besarnya biaya pembuatan gedung, yakni enam juta gulden.

Pascakemerdekaan, Gedung Sate menjadi arena pertempuran antara pasukan Gurkha yang disewa Belanda dan pemuda Departemen Pekerjaan Umum (PU). Tujuh pemuda tewas dalam pertempuran pada 3 Desember 1945 itu. Nama mereka dipahat pada tugu batu yang kini diletakkan di halaman Gedung Sate.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com