JAKARTA, KOMPAS.com
”Tiap perencanaan ruang harus mampu mengikuti pertumbuhan ekonomi maupun perubahan iklim global, tapi yang lebih penting lagi adalah memperhitungkan respons terhadap kemungkinan munculnya bencana,” kata Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia Bernardus R Djonoputro, Selasa (31/3) di Jakarta.
Bernardus menyatakan tidak yakin RTRW Jakarta maupun RTRW Tangerang telah memuat mitigasi bencana. ”Di Indonesia, setahu saya mitigasi bencana baru dimuat di RTRW Kota Banda Aceh dan Padang,” ujarnya.
Di Padang dibuat empat skenario untuk mengatasi banjir mengingat curah hujan termasuk tinggi, yakni rata-rata 405,58 milimeter per tahun. Salah satu skenarionya adalah dengan mempertahankan kawasan hutan lindung yang mencapai 52,52 persen dari luas Kota Padang.
”Untuk kasus Situ Gintung, kami bahkan mensinyalir adanya perubahan dalam rencana tata ruang. Perubahan tersebut disebabkan kepentingan-kepentingan ekonomi,” kata Bernardus.
Bernardus menduga terjadi ”kesepakatan” antara pemberi dan penerima izin di sisi hilir dari Situ Gintung. ”Seharusnya, tak ada permukiman di bantaran sungai di sisi bawah Situ Gintung. Jika itu dipatuhi, semestinya tak perlu jatuh korban terlalu banyak,” kata Bernardus.
Menurut Yayat Supriatna, Ketua Kajian Pembangunan IAP, meningkatnya frekuensi bencana dan menurunnya daya dukung lingkungan merupakan hasil dari perubahan ekosistem akibat penyimpangan rencana tata ruang.
Kota-kota besar dengan kerawanan tinggi, kata Yayat, di antaranya adalah Jakarta, Medan, Semarang, Makassar, Bandung, dan Solo.