Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merefleksi Nafsu Manusia

Kompas.com - 30/04/2009, 14:15 WIB

Tatkala Guwarsi berproses berubah wujud menjadi Subali, si manusia kera, tukang topeng monyet dan monyetnya, Sarimin, muncul. Tukang topeng monyet itu mengajari Sarimin menjadi manusia, berbelanja ke pasar, naik sepeda, membaca, dan memakai topeng.

"Kamu beruntung Min karena kini banyak manusia menjadi kera. Mendingan kamu, kera yang mau menjadi manusia," kata tukang monyet itu sembari menuding-nuding Guwarsi.

Namun, dasar monyet. Setiap kali tukang topeng monyet mengajari Sarimin menjadi manusia, monyet berbulu hitam itu tetap tidak bisa sempurna menjalani lelakon manusia. Ada-ada saja polahnya...Dasar monyet!

Begitu salah satu fragmen kolaborasi tari dan teatrikal sejumlah dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang dipentaskan di Gedung Sasana Bhakti, Kabupaten Blora, Rabu (29/4). Pentas tari berjudul "Sendang Suwolo" itu merupakan karya dosen tari ISI Surakarta asal Blora, Karyono.

Pementasan itu merupakan salah satu pengisi kegiatan "Apresiasi, Sosialisasi, dan Promosi ISI Surakarta" bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Blora. Pementasan lainnya adalah karawitan berjudul "Teposliro" dan wayang golek dengan lakon "Ronggolawe Gugur".

Karyono memulai tarian itu dengan menampilkan fragmen tiga bersaudara anak Resi Gotama dan Dewi Indradi, yaitu Guwarsi, Guwarso, dan Anjani, yang berebut Cupumanik Astagina di Sendang Suwolo. Cupu itu terlempar dan menghilang di sendang itu.

Guwarsi pun melompat ke sendang itu dan mulai berproses menjadi Subali. Guwarsa yang nantinya menjadi Sugriwa dan Anjani yang menjadi ibu Hanoman, tidak dikisahkan lagi dalam pementasan itu.

Setelah Guwarso berubah menjadi Subali, datanglah Mahesasuro dan Jatasuro. Kedua manusia kerbau itu menantang Subali berkelahi lantaran Subali memasuki daerah kekuasaan mereka. Di tengah-tengah perkelahian itu, Subali yang diperankan Karyono menyampaikan pesan- pesan kehidupan, keterkaitan manusia dengan alam.

Karyono mengatakan manusia pada hakikatnya menyimpan nafsu ingin menguasai segalanya tanpa memedulikan apa pun. Cupumanik Astagina merupakan simbol penarik hati manusia sehingga untuk mendapatkan itu manusia berkelahi dengan sesama, bahkan saudaranya.

Cupumanik Astagina sekaligus menjadi simbol air kehidupan. Air itu menjadi pengharapan masyarakat, tetapi mereka justru tidak menjaga kelanggengan air itu.

Menurut Karyono, di Blora yang setiap tahun mengalami kekeringan, manusia kerap menebang pohon dan menambang bukit demi mendapatkan uang. Padahal, pohon dan bukit merupakan kawasan lindung mata air.

"Jika sikap itu terus terpelihara dan alam rusak karenanya, maka hukum Tuhan dan kehancuran akan tiba," katanya.

Pementasan sebelumnya, yaitu karawitan "Teposliro" dan wayang golek "Ronggolawe Gugur" juga merupakan cerminan refleksi manusia. (HENDRIYO WIDI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com