Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Neoliberalisme

Kompas.com - 12/06/2009, 05:54 WIB

Kasus Prita merupakan bukti nyata dari dampak neoliberalisme, begitu dinyatakan calon presiden Megawati Soekarnoputri melalui siaran pers yang dibagikan di Posko Pemenangangan Megawati-Prabowo di Jakarta, Rabu (3/6).

Menurut Mega, Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) digunakan untuk mengalahkan kepentingan asasi (ekspresi) rakyat kecil. Kasus itu merupakan pelanggaran atas hak menyatakan pendapat yang merupakan hak asasi paling mendasar dan dilindungi konstitusi, UU HAM, serta berbagai ratifikasi konvensi internasional. Ia juga menegaskan perlunya revisi UU ITE.

Prita Mulyasari (32), ibu dua anak, sempat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang atas tuduhan pencemaran nama baik satu rumah sakit internasional setelah mengeluhkan pelayanan RS itu melalui surat elektronik. Prita dijerat Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jaksa menambah Pasal 27 Ayat 3 UU ITE dengan ancaman hukuman di atas lima tahun.

Korban terdepan

Kasus Prita mencuat karena terkait dengan hukum. Namun sebenarnya, dampak kebijakan ekonomi neoliberal sangat jelas. Hilangnya minyak goreng di pasaran dan harga sembako yang naik-turun hanyalah dua dari begitu banyak contoh lain.

Menurut ahli ekonomi, Dr Hendri Saptarini, strategi liberalisasi menegasikan sanksi ketika pengusaha melepas tanggung jawab atas pasar domestik. Dalam kasus minyak sawit mentah (CPO), pemerintah hanya menerapkan pajak ekspor 10 persen, terhitung kecil dibandingkan dengan keuntungan dari harga CPO di pasar dunia.

”Pemerintah hanya berperan dengan operasi pasar Rp 500 miliar setahun untuk seluruh Indonesia,” kata Hendri. Dia menambahkan, produksi CPO tahun 2007 sekitar 17 juta ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri hanya 4 juta ton.

Contoh lain, membanjirnya kedelai impor karena keran impor dibuka dan memicu demo ribuan pengusaha tempe-tahu ke DPR. ”Liberalisasi di sektor pangan merupakan kompensasi dari utang Dana Moneter Internasional tahun 1998,” ujar Hendri.

Sebagai kreditor, IMF meminta Pemerintah Indonesia menyusun kebijakan yang akan dimasukkan ke dalam letter of intent (LOI). Paling tidak, ada 130 prasyarat diajukan IMF mencakup berbagai sektor ekonomi. Hal itu di antaranya Indonesia harus membuka berbagai sektor strategis dalam LOI, Januari 2000.

LOI seharusnya berakhir tahun 2003, tetapi pemerintah memperpanjang melalui postprogram monitoring sampai tahun 2006. ”Liberalisasi berbagai sektor melalui undang-undang banyak terjadi pada masa itu,” kata Hendri. Contohnya, UU Ketenagakerjaan yang meloloskan perekrutan tenaga kerja sistem outsourcing.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com