JAKARTA, KOMPAS.com —
Dengan kawalan ketat polisi, ia datang ke Polda Metro Jaya sekitar pukul 11.30. Perlakuan polisi terhadap perempuan kelahiran Tangerang, 1 Juli 1986, ini tampak istimewa. Rani datang dengan mobil seorang penyidik, Fortuner warna hitam bernomor polisi B-1996-WS.
Puluhan wartawan yang menunggu sejak pagi kecewa saat Rani hadir tanpa penjelasan apa-apa. Ia muncul di depan kamera sekitar pukul 15.00. Setelah diperiksa sebagai saksi selama empat jam, dengan mengecoh wartawan, polisi mengembalikan Rani ke ”sarang” rahasianya pukul 15.30.
Beberapa menit sebelum menampilkan ”boneka” Rani, Direktur Reserse Kriminal Umum Komisaris Besar Mochamad Iriawan kepada wartawan menjelaskan, Rani diperiksa sebagai saksi. Polisi ingin mendengar pengakuan Rani tentang telepon genggam Nasrudin sebelum Nasrudin terbunuh, serta sejumlah isi layanan pesan singkat (short message service/SMS) yang diterima maupun dikirim Nasrudin kepada dan dari Rani. ”Polisi mau mencocokkan hal-hal ini,” ujar Iriawan.
Salah satu isi SMS menyebutkan ajakan Nasrudin kepada Rani agar mengadukan peristiwa pertemuan antara Antasari dan Rani di Hotel Grand Mahakam. ”Nasrudin mengajak Rani ke DPR mengadukan kasus ini. Orangtua Rani melarang karena katanya, ’Kita kan cuma orang kecil’. Tetapi, Rani sempat bersikeras dengan mengatakan kalau aku mati dibunuh? Meski demikian, Nasrudin-Rani akhirnya batal ke DPR,” papar Iriawan.
Ia menambahkan, untuk melindungi diri, kartu SIM telepon genggam Rani sering diganti.
Menurut pengakuan Rani, pertemuan di hotel tersebut berlangsung pada 23 Mei 2008. ”Dia ingat betul, pertemuan antara Antasari dan Rani berlangsung di kamar nomor 803 dan bukan 802. Sebab, kamar 802 lebih sempit,” ucap Iriawan mengutip Rani.
Pertemuan di hotel ini diduga menjadi pemicu pertengkaran antara tersangka Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Antasari Azhar dan Nasrudin yang berujung pembunuhan. Nasrudin tewas ditembak seusai bermain golf di Lapangan Golf Modernland, Tangerang, Sabtu (14/3) pukul 14.00.