Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kacaunya Cawang, Kacaunya Jakarta...

Kompas.com - 08/09/2009, 08:20 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Lalu lintas di Jakarta yang selalu dirundung kemacetan, atau perilaku ugal-ugalan pengendaranya, tidak terlepas dari buruknya infrastruktur. Persimpangan Cawang di Jakarta Timur menjadi contoh sempurna pengadaan infrastruktur yang tidak mengutamakan kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan.

Sabtu (5/9) siang pada akhir pekan, ketika kawasan lain di Jakarta relatif lancar arus lalu lintasnya, di persimpangan Cawang keruwetan masih terjadi. Persimpangan ini, sesuai data dari Kepolisian Daerah Metro Jaya, memiliki garis tengah paling luas dibandingkan dengan persimpangan lain di Jakarta.

Persimpangan Cawang dilalui lima jembatan layang, dua jalur utama terowongan, tiga jalur utama dari arah Polda Metro Jaya, dua jalur utama dari arah Bekasi, Jalan Tol Cikampek, dan dari arah Halim Perdana Kusuma.

Selama dua jam, pada Sabtu tengah hari kemarin, Kompas melihat arus lalu lintas di jalan utama sangat padat. Persimpangan Cawang menjadi pertemuan arus kendaraan bermotor dari Kalimalang, Bekasi; dari Tol Cikampek; dari Jatinegara dan dari Cililitan, Jakarta Timur; serta arus lalu lintas dari arah Polda Metro Jaya.

Belum lagi keberadaan selter dan jembatan penyeberangan untuk bus transjakarta. Di ujung-ujung jembatan penyeberangan ini, tepat di pinggir jalan, berkumpul tukang ojek dan tempat pemberhentian tidak resmi angkutan umum lain.

Persimpangan Cawang juga berbahaya bagi penyeberang jalan. Tidak ada fasilitas jembatan penyeberangan bagi pejalan kaki. Menuju Jalan Dewi Sartika, misalnya, disediakan zebra cross.

Akan tetapi, tempat penyeberangan ini tidak pernah sepi dari lalu lalang kendaraan. Ketika lampu menyala merah tanda bahwa arus kendaraan dari Jalan Otista atau dari Gatot Subroto yang melaju lurus ke arah Bogor harus berhenti, arus kendaraan yang ke kanan atau ke kiri tetap bebas berjalan melintasi zebra cross.

Dalam kajian tentang Cawang oleh Suku Dinas Perhubungan Jakarta Timur, di persimpangan ini sebanyak 12.500 orang transit untuk masuk ke Jakarta dari Bogor, Bekasi, dan sekitarnya. Ada 31 rute angkutan umum yang melewati Cawang. Belum lagi banyaknya kendaraan pribadi yang melintasinya.

Pada hari kerja, Senin hingga Jumat, kemacetan parah selalu terjadi di kawasan ini. Baru pada tahun ini, Dinas Perhubungan DKI dan Polda Metro Jaya berupaya menertibkan Cawang.

Sejumlah upaya itu adalah menertibkan trayek bus antarkota antarprovinsi, mengatur dan merekayasa lalu lintas dengan memasang rambu-rambu di pintu keluar tol menuju kawasan UKI Cawang, kemudian mengawasi dan mengendalikan lalu lintas. Namun, tetap saja kekacauan terjadi di Cawang.

Tanpa konsep

Terbukti, pembangunan jalan layang, termasuk jalan tol, tidak menyelesaikan masalah. Pemerintah juga tidak memperluas jalur pejalan kaki, padahal ini penting bagi para penumpang transit yang harus berganti-ganti kendaraan. ”Di sisi lain, tempat yang seharusnya cocok untuk terminal kini justru jadi pusat perbelanjaan Cililitan,” kata Tulus Abadi, pengamat transportasi dan lalu lintas dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

Kesemrawutan lain akibat pembangunan infrastruktur yang tidak tepat, menurut Tulus, terlihat di kawasan Pasar Rebo di Jakarta Timur, Slipi dan Grogol di Jakarta Barat, serta Roxy di Jakarta Pusat. Jembatan layang hanya memperlancar arus lalu lintas sesaat, selanjutnya kemacetan terjadi di jembatan layang dan di ruas jalan di bawahnya.

Tulus melihat, selama ini Pemerintah Provinsi DKI dan juga pemerintah pusat membangun infrastruktur transportasi metropolitan tanpa konsep. ”Bayangkan nanti ketika enam ruas tol yang direncanakan pemerintah jadi dibangun. Memang ada penambahan luas jalan, tetapi ujung-ujung tol itu bermuara di mana? Di ruas-ruas jalan yang sudah ada juga kan? Itu berarti, sengaja memunculkan simpul-simpul kemacetan baru,” kata Tulus.

Nuzul Achjar, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menambahkan, kemacetan yang terjadi di Jakarta tidak mencerminkan tingginya permintaan akan penambahan jalan. ”Ini bukan sekadar prinsip ekonomi supply and demand. Bukan jalan yang diminta, melainkan sistem transportasi massal yang tepat menyeluruh,” kata Nuzul.

Nuzul mempertanyakan seberapa peduli pemerintah untuk memenuhi tuntutan itu. Apalagi, sudah menjadi pengetahuan umum, ketika jalan ditambah, jumlah kendaraan pun bertambah. Akibatnya, kebutuhan akan jalan seakan terus naik. Padahal, bukan itu akar masalah kekacauan lalu lintas di Jakarta.

Dirobohkan

Tulus menambahkan, di beberapa negara maju, seperti di Korea Selatan dan sebagian negara Eropa, jalan-jalan tol bersusun banyak yang dirobohkan karena merusak tata kota. Lahan bekas jalan tol itu kemudian difungsikan ulang sebagai ruang terbuka hijau.

Di sisi lain, sebagian lalu lintas di atas permukaan tanah dipindahkan ke bawah tanah dengan pembangunan rangkaian kereta api bawah tanah.

Pertanyaannya, kapan Jakarta membangun sistem transportasi massal yang tepat setelah rute-rute bus transjakarta belum mampu menarik pengguna kendaraan pribadi menjadi penumpangnya. Sementara itu, proyek monorel terkatung-katung tidak jelas kelanjutannya.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Budi Widiantara menegaskan, Pemprov DKI tetap akan membangun enam ruas tol. Hal ini dilakukan demi mengejar target penambahan panjang jalan Jakarta yang kini masih sekitar 6,28 persen dari total luas wilayahnya.

Seiring adanya pembangunan jalan tol, DKI juga menargetkan terselesaikannya sistem transportasi massal berupa rangkaian kereta api bawah tanah dalam 5-10 tahun ke depan. Namun, melihat seringnya rencana pembangunan berubah-ubah, Tulus meragukan pencapaian target DKI tersebut. (NEL/ECA/WIN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com