Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Cincin Pelacur sampai Pispot Kaisar

Kompas.com - 07/02/2010, 06:18 WIB

Ilham Khoiri dan Yulia Sapthiani

 

KOMPAS.com - Di tengah Jakarta yang sumpek ternyata ada beberapa museum pribadi. Dengan sistem janjian, kita bisa menikmati koleksinya, mulai dari peninggalan budaya bersejarah, karya seni rupa, sampai produk mode. Apa maknanya bagi kaum urban di Ibu Kota?

Museum di Tengah Kebun.” Begitu tulisan pada pintu gerbang kayu di kawasan Kemang Timur, Jakarta Selatan. Begitu masuk, ada lorong panjang diapit tanaman hias. Di depannya, berdiri rumah joglo tua. Di samping kanan rumah terhampar kebun menghijau dengan pepohonan tumbuh subur. Di tengah kebun itu terdapat beberapa patung batu atau perunggu.

Masuk dalam ruangan, ada lebih banyak koleksi lagi. Ada patung, lukisan, keramik, perabot rumah tangga, atau kerajinan. Semuanya ditata rapi di ruang tamu, kamar-kamar, beranda, teras, kamar mandi, dapur, hingga ruang makan di rumah itu.

”Ada sekitar 1.800 koleksi di sini,” kata Sjahrial Djalil (70), pengusaha periklanan pemilik Museum di Tengah Kebun.

Benda-benda seni budaya itu berasal dari berbagai peradaban dunia, mulai dari Asia, Eropa, Amerika, Afrika, sampai Australia. Masanya berasal dari zaman prasejarah, masa klasik, pertengahan, sampai modern.

Beberapa koleksi sangat unik. Sebut saja arca Ganesha setinggi sekitar 173 sentimeter diletakkan di tengah kebun. Arca dari Jawa Tengah ini adalah Ganesha terbesar pada periode klasik, sekitar abad ke-9 Masehi. Ada pispot dari Dinasti Ming, China (abad ke-15 Masehi). Juga cincin pelacur dari Shanghai, China, dari abad ke-20 Masehi.

Menurut Sjahrial, Shanghai pada masa itu adalah kota perdagangan yang sangat ramai dengan kehadiran masyarakat dari berbagai penjuru dunia. Cincin berwarna putih dengan ornamen rumit itu diciptakan khusus untuk dipakai perempuan yang bekerja sebagai pelacur.

Museum ini adalah salah satu dari sejumlah museum pribadi di Jakarta. Sebut saja, antara lain, Museum Harry Dharsono di Cilandak, Museum Layang-layang di Pondok Labu, Jakarta Selatan; Akili Museum of Art di Kedoya, Jakarta Barat; atau Museum Martha Tilaar di Pulo Gadung, Jakarta Timur. Kini, museum-museum itu terbuka untuk umum—tentu dengan perjanjian lebih dulu.

Variasi

Keberadaan sejumlah museum pribadi di Jakarta ini memperkaya khazanah permuseuman di tengah kondisi museum pemerintah yang sebagian besar memprihatinkan. Koleksinya lebih bervariasi karena si pemilik bebas dalam berekspresi.

Di Museum Harry Dharsono Anda akan diajak untuk menyimak banyak koleksi berharga buatan sang perancang, mulai dari masa kecilnya saat masih mengidap attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)—yaitu anak hiperaktif dan sangat mengganggu. Dari barang-barang yang dipajang kita bisa menyelami perjalanan hidup Harry. Di dekat pintu masuk terdapat sketsa gedung yang digambar Harry saat berusia 9 tahun. Gambar inilah yang kemudian dijadikan desain museum.

Gaun-gaun haute couture yang pernah dipakai orang penting dari sejumlah negara, termasuk Putri Diana, menjadi koleksi yang paling menonjol. Di sini juga terdapat berbagai pahatan batu, kain dari pintalan benang, sampai peralatan makan dari keramik. Ribuan benda koleksi ini dirotasi pemajangannya setiap 6 bulan. Sebagai tuan rumah, Harry sebisa mungkin menemani tamu dan menceritakan riwayat koleksinya. Pada akhir kunjungan, tamu dijamu teh atau kopi dan cemilan sambil dihibur penyanyi opera.

Lain lagi dengan Akili Museum of Art yang terletak di Perumahan Mutiara Kedoya. Di bangunan cantik bergaya modern-minimalis ini tersimpan 400-an karya seni rupa, seperti lukisan, patung, dan instalasi. Koleksinya mencakup karya seniman modern dan kontemporer dari Indonesia dan mancanegara, seperti dari China, Spanyol, Belanda, dan Italia.

Dari Tanah Air kita bisa melihat karya pelukis old masters, seperti Raden Saleh, Basuki Abdullah, Hendra Gunawan, atau Affandi. Dari kalangan pelukis kontemporer ada karya S Teddy D, Agus Triyanto BR, dan Eko Nugroho.

Kenapa mereka mau membuat museum dan membukanya untuk umum? Simak saja alasan Rudy Akili, pengusaha biro perjalanan, pemilik museum itu. ”Saya punya banyak koleksi karya seni. Sayang, kalau semua itu hanya saya nikmati sendiri. Saya buat museum agar banyak orang bisa ikut melihat.”

Mandiri

Berbeda dengan museum negeri yang mendapat dana dari pemerintah, museum milik Sjahrial, Harry, dan Rudy adalah museum-museum privat yang mandiri. Pengadaan, pemeliharaan, dan pengelolaan koleksi sepenuhnya ditanggung sendiri.

Sjahrial rela merogoh kocek hingga miliaran rupiah demi mengusung koleksi bagus. Dia berjibaku mengikuti lelang di luar negeri, terutama lewat Balai Lelang Christie’s di London, New York, Hongkong, Australia, atau Amsterdam.

Untuk memberikan informasi kepada pengunjung, Sjahrial menerbitkan buku berisi foto koleksi dan keterangan. Demi keamanan, museum dilengkapi CCTV dan dijaga sejumlah petugas keamanan. Benda-benda berharga itu juga rutin diurus agar tetap terpelihara baik.

Adapun di Museum Harry, meskipun sebagian besar koleksi adalah karya sendiri, Harry berusaha melacak keberadaan gaun yang pernah dipakai putri dari sejumlah negara. Gaun-gaun itu dia minta untuk ditukar dengan pakaian-pakaian baru.

Mengutip sejarawan dari Universitas Indonesia, Anhar Gonggong, benda-benda itu sangat penting untuk membangun kebudayaan masa depan. ”Dalam museum kita melihat proses kreatif peradaban di masa lampau untuk membangun peradaban ke depan,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com