Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemelut Tabung Elpiji

Kompas.com - 25/06/2010, 05:00 WIB

Oleh Kurtubi

Sejak program konversi minyak tanah ke gas digulirkan pemerintah pada 2007, lebih dari seratus ledakan tabung elpiji terjadi di tengah masyarakat.

Ratusan jika telah jadi korban, baik yang meninggal maupun luka-luka. Ratusan bangunan terbakar dan hancur akibat ledakan tabung elpiji di daerah-daerah yang telah menjalankan program konversi, terutama Jabodetabek. Ini dampak negatif yang sangat serius dari sebuah kebijakan pemerintah di bidang energi.

Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan regulator serta Pertamina sebagai pelaksana kebijakan harus segera memberikan respons dan perhatian penuh pada upaya-upaya menanggulangi dan menghindari timbulnya korban lebih banyak lagi! Pasalnya, ledakan tabung-tabung elpiji yang menimbulkan korban jiwa dan harta serta kritikan-kritikan dan saran-saran dari berbagai pihak sudah muncul sejak tahun 2007. Namun, ledakan justru semakin sering terjadi, korban jiwa dan harta semakin banyak.

Kebijakan energi untuk mengurangi ketergantungan pada BBM (diversifikasi energi) dengan mendorong pemakaian gas merupakan kebijakan tepat. Selain gas lebih ramah lingkungan, lebih praktis dan ketersediaannya semestinya lebih terjamin mengingat jumlah cadangan gas di perut bumi Nusantara jauh lebih besar daripada minyak.

Dengan sekitar 50 juta rumah tangga sudah dikonversi ke gas, subsidi BBM (minyak tanah) bisa dihemat sekitar Rp 25 triliun setiap tahun. Ini menunjukkan bahwa program konversi minyak tanah ke gas sudah tepat dan sudah memberikan dampak positif terhadap APBN.

Namun, kian maraknya ledakan tabung elpiji belakangan ini jelas mengindikasikan adanya sesuatu yang salah dalam implementasi program ini. Gas sangat sensitif terhadap api atau benda panas. Bisa saja pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Pertamina saling berdebat dan lempar tanggung jawab tentang penyebab dan siapa yang harus bertanggung jawab.

Yang pasti, ledakan baru bisa terjadi jika ada tabung yang bocor dan tersambar api. Gas bisa keluar dari badan atau kepala botol, bisa lewat selang, regulator, atau pentil karet. Api yang menyambar gas bocor bisa datang dari pemakai yang bermaksud menyalakan kompor, benda panas, lampu listrik yang ada di ruangan, dan sebagainya. Namun, meski pemakai atau masyarakat menyalakan api atau listrik, kalau tidak ada kebocoran tabung elpiji, ledakan tidak akan terjadi!

Tanggung jawab

Mungkin ada masyarakat yang menyalakan kompor gas dalam kondisi ada kebocoran. Kalau dikatakan ”kelalaian”, mestinya ini tidak perlu terjadi jika ada sosialisasi yang efektif. Namun, kebocoran yang terjadi sebagai pemicu utama timbulnya ledakan jelas merupakan wilayah tanggung jawab Pertamina sebagai pelaksana program. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan regulator juga tidak bisa ”lepas tangan” begitu saja. Terlebih masyarakat tidak melihat adanya respons serius dan memadai, baik dari Pertamina maupun pemerintah meskipun ledakan-ledakan sudah mulai terjadi sejak diluncurkannya program konversi tahun 2007. Akibatnya, dari hari ke hari ledakan bertambah banyak di seantero daerah yang sudah terkonversi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com