Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menggerakkan Kota dengan Seni

Kompas.com - 25/06/2010, 09:24 WIB

Oleh IDHA SARASWATI

KOMPAS.com - Wajah Yogyakarta tak lepas dari Samuel Indratma. Perupa berambut gimbal yang gemar bercelana pendek dalam segala suasana ini adalah sosok sentral di balik mural atau lukisan dinding yang menghiasi kaki Jembatan Layang di Lempuyangan dan dinding kosong di Kota Yogyakarta.

Pada salah satu sisi kaki jembatan layang itu tampak gambar rombongan kera berbaris rapi menghadap Prabu Rama. Karya yang dicuplik dari epos Ramayana ini muncul dari tangan keriput Tjipto Wibagso, seniman sepuh penunggu panggung sendratari Ramayana di Taman Hiburan Rakyat Yogyakarta.

Pada kaki jembatan lainnya, ada Joko Tarub mencuri selendang Dewi Nawangwulan. Karya itu muncul dari tangan Soelasno, pelukis kaca. Lalu, di kaki lainnya, dalang wayang kancil Ki Ledjar Subroto melukis sosok Sultan Agung dan seterunya, Jan Pieterzoon Coen.

Samuel memang bukan pelukis mural di kaki jembatan layang yang dibuat akhir 2007 itu. Namun, selaku pendiri Jogja Mural Forum (JMF), ia adalah inisiator pembuatan mural tersebut.

Ia melibatkan para seniman pegiat seni tradisi berusia di atas 50 tahun. Dengan basis tradisi, mereka membuat karya mural yang sarat nilai-nilai lokal. Lokalitas itu membuat mural yang hadir tak ditemui di tempat lain. "Seniman berbasis tradisi makin jarang ditemui. Karya itu menjadi pengingat tentang mereka," katanya.

Kegembiraan membuat mural tak hanya dibagi kepada sesama seniman, Samuel selaku Koordinator Jogja Mural Forum juga menggagas "Kampung Sebelah Art Project" (2007). Dalam proyek ini, warga di sejumlah kampung diajak menghias kampungnya dengan mural. Warga menentukan ragam dan rancang gagas visual mereka sendiri.

Selanjutnya, pertengahan 2008 Jogja Mural Forum membuat "Kode Pos Art Project". Gagasannya sederhana. Setelah kampung-kampung semarak dengan mural, mereka tertarik menggarap ikon ruang publik lain, yakni papan informasi.

Proyek pembuatan papan informasi yang "nyeni" itu melibatkan 12 kampung di Kota Yogyakarta. Dari proyek itu muncul papan informasi yang unik dan bisa mengusir kerut di dahi kita.

Papan untuk nama Gang Srikandi, misalnya, dibuat dengan gambar tokoh wayang Srikandi dan informasi singkat tentang statusnya sebagai istri Arjuna. Papan peringatan yang biasanya bernada perintah juga diubah bernada ajakan. Misalnya, "Harap pelan-pelan agar tenang. Yo To?" Papan itu dilengkapi gambar siput tersenyum.

Berawal dari proyek mural di kaki Jembatan Layang Lempuyangan, Apotik Komik menjadi penular "virus" mural di Yogyakarta.

Tak terduga Hidup bagi Samuel adalah rangkaian "ketersesatan" yang menggairahkan. Sebagai seniman, ia mengaku tetap berkarya secara personal. Lalu, ia menjual karya itu sesuai mekanisme pasar seni yang berlaku.

Namun, kerja-kerja kolektif yang mempertemukan dia dengan berbagai jenis manusia di luar habitat keseniannya telah menghasilkan banyak hal tak terduga. Bermula dari seorang bocah yang betah mengurung diri dalam kamar untuk membuat komik, Samuel tumbuh menjadi perupa yang kerap berkarya secara kolektif di ruang terbuka.

Bakat seni Samuel yang lahir di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, itu terlihat sejak kecil. Ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia rajin membuat kartun. Iseng ia mengirim karyanya ke media cetak. Kartunnya dimuat dan mendapat honor. "Waktu dapat honor itu, saya beli ayam potong untuk Ibu. Ibu sampai terharu," ujarnya.

Melanjutkan kegemarannya menggambar, selepas sekolah menengah atas, ia masuk ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1990. Namun, dunia kampus ternyata tidak menarik hatinya. Lima tahun kemudian ia keluar dari ISI.

Persentuhannya dengan mural dimulai saat mendirikan Apotik Komik bersama Arie Dyanto dan Bambang Witjaksono pada 1997. Berangkat dari komik, kelompok ini beralih ke mural. "Kami memilih mural karena bisa diakses lebih banyak orang," katanya.

Menurut dia, seni mural bukan barang baru. Seni lukis dinding sudah ada sejak zaman purba. Namun, Apotik Komik mendefinisi ulang mural hingga karya ini bisa menjadi medium seni untuk mengomunikasikan ide dan gagasan kepada banyak orang.

Berawal dari proyek mural di kaki Jembatan Layang Lempuyangan, Apotik Komik menjadi penular "virus" mural di Yogyakarta. Mereka mampu meyakinkan Pemerintah Kota Yogyakarta bahwa mural berdampak positif bagi wajah kota. Apotik Komik juga menggelar workshop membuat mural bagi pelajar, anak jalanan, hingga ibu rumah tangga. 

"Virus" mural itu lalu menjalari banyak orang. Untuk mewadahinya, Samuel mendirikan Jogja Mural Forum tahun 2005. Forum ini membuka diri bagi siapa pun yang ingin bergabung. Lewat Jogja Mural Forum, ia menggerakkan banyak orang untuk berkesenian.

Bahan sederhana Baginya, seni adalah medium untuk berkomunikasi dan menggugah pikiran. Seni bukan tujuan, melainkan alat. Setiap orang yang terbiasa terlibat dalam proses kreatif akan mampu menghasilkan sesuatu.

Oleh karena itu, dalam berkesenian ia lebih sering memakai bahan-bahan sederhana yang didapat dari lingkungan sekitar. Dengan begitu, orang lain akan tertarik berkesenian. Dalam pameran tunggalnya pada 2009, Samuel memamerkan sejumlah karya yang terbuat dari kaleng bekas wadah aspal.

Pertimbangan itu juga yang menjadi dasar dalam memilih mural. Dengan mural, persiapan untuk menghasilkan karya seni pun relatif lebih mudah. Asal ada dinding, mural siap dibikin.

"Kalau saya mulai dengan patung atau instalasi, orang sudah takut duluan. Akhirnya, malah mereka tak jadi berkesenian," katanya.

Seni yang sederhana itu menjadi jalan hidup Samuel. Ketika Yogyakarta sedang diguncang booming pasar seni rupa, ia tetap pada pilihannya.

Bersama keluarga kecilnya, ia tetap tinggal di rumah kontrakan di daerah Jeron Beteng Keraton Yogyakarta. Sepeda motor menjadi andalannya menyambangi aneka perhelatan seni rupa hingga acara sarasehan di berbagai kampung. Sepeda motor itu juga yang dia gunakan mengantar dan menjemput istri dan dua anaknya.

Sikap itu juga ia terapkan saat menggerakkan Biennale Jogja X, Desember 2009–Januari 2010. Dalam bienial itu, seniman non-akademis diberi ruang yang lebih luas. Mereka melukis dinding, trotoar, gerobak pedagang kaki lima, hingga seng penutup proyek pembangunan.

Kini, bersama Butet Kertaredjasa dan sejumlah perupa lain, Samuel terlibat dalam Magersaren Art Project. Di sini mereka membentuk lembaga yang mengurusi seni rupa di ruang publik Kota Yogyakarta. Di ruang publik yang terbuka, seni bisa diapresiasi lebih banyak orang. Seni bisa menggerakkan orang.

 

SAMUEL INDRATMA
Lahir: Kebumen, Jawa Tengah, 22 Desember 1970
Istri: Ade Tanesia
Anak: - Ilen Atine Gusti (8) - Nyala Aurane Gusti (4)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com