Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengurai Akar Reproduksi Kultur Kejahatan

Kompas.com - 26/10/2010, 17:28 WIB

Oleh Ardhie Raditya

Kepolisian Yogyakarta meringkus 34 pelaku kejahatan spesialis pencurian bermotor (curanmor). Sebelumnya, kepolisian Jawa Timur menangkap puluhan remaja yang memalak, berjudi, dan merampok secara sadis. Di Serdang, Sumatera Utara, kepolisian setempat telah melumpuhkan secara dramatis perampok bank bersenjata (Kompas, 4-7/10). Meski kawanan penjahat berhasil dibekuk, bukan berarti kultur kejahatan di negeri kita sudah dianggap tuntas diberantas hingga ke akar-akarnya.

Membebaskan masyarakat dari berbagai praktik kejahatan bukanlah semata-mata berada di pundak kepolisian. Semua elemen masyarakat harus mengambil peran memberantas kejahatan. Yang patut diwaspadai ialah ketika momentum kultural tertentu. Cobalah tengok, saat momentum hari raya umat Islam saja sudah ribuan kasus kejahatan terjadi dari berbagai daerah. Di Solo, misalnya, terjadi pembunuhan berantai di perumahan elite, di Semarang terjadi perampokan toko emas, di Yogya pencopet dan pelaku curanmor berkeliaran di pasar tradisional, kampus, dan mal. Meningkatnya angka kejahatan saat hari raya itu dikarenakan meningkatnya aktivitas ekonomis dan sirkulasi keuangan dari domestik ke publik.

Praktik kejahatan dengan berbagai polanya itu harus diwaspadai bersama, mengingat waktu dekat ini ada momentum besar bernama perayaan Natal dan Tahun Baru. Momentum ini membutuhkan banyak modal ekonomis. Alasannya sangat klise bahwa perayaan itu harus dimeriahkan karena pelaksanaannya setahun sekali. Di tengah merebaknya bencana alam, merajalelanya kemiskinan, dan diskriminasi politik, maka perayaan yang mewah itu hanyalah akan memperparah luka sosial dan semakin mempertegas diferensiasi kelas sosial.

Ini tanpa disadari akan menabur benih kebencian dan kecemburuan sosial, terutama dari kelas bawah terhadap kelas atas. Kondisi ketimpangan sosial inilah akar munculnya kejahatan. Studi historis yang dilakukan Suhartono, tentang "bandit-bandit pedesaan Jawa 1850-1942" dengan setting lokasi di Jateng, mempertegas argumentasi ini. Pada masa-masa krisis multidimensi ketika itu karena kolonialisasi, elitisasi kekuasaan, dan pementasan kekayaan kaum priayi menjadi pemicu resistensi sosial akar rumput dengan cara merampok, mencuri, dan menjarah orang-orang kaya dengan tujuan mengambil hak ekonomi, politik, dan budaya mereka yang dibajak. Inilah peristiwa Robin Hood ala Indonesia yang terjadi di Jawa.

Di tengah sakitnya bangsa ini didera praktik politik hipokrit dan eksploitasi neoliberalisme, kita tak ingin revolusi penjahat yang berasal dari akar rumput mencoba melakukan titik balik sejarah. Hal itu selain menimbulkan ketakutan sosial yang luar biasa juga akan memorak-porandakan peradaban negara kita yang susah payah dibangun. Bahkan, situasi chaos ini pun bisa dimanfaatkan oleh jaringan teroris untuk melancarkan aksi-aksinya mendirikan negara berbasis agama tertentu yang ideologinya tidak toleran kepada pengakuan eksistensi agama lain.

Pendidikan dalam arti persekolahan memiliki urgensi peran menghilangkan diferensiasi kelas dan ketimpangan sosial-budaya. Di sekolah, siswa diajarkan tentang arti dan nilai kebersamaan, keadilan, solidaritas, kemanusiaan, dan perdamaian. Nilai-nilai aplikasi dalam Pancasila dan UUD 45 sejak sekolah dasar ditanamkan dalam diri siswa. Hanya saja, justru sekolah mereproduksi ketimpangan ekonomis dan memperuncing perbedaan kelas sosial.

Bagaimana tidak, untuk masuk ke sekolah negeri (apalagi swasta) yang berkualitas dari segi pendidik dan sarana prasarana membutuhkan dana yang besar. Mereka yang kaya yang mampu mengaksesnya. Orang miskin dilarang sekolah.

Meskipun pada akhirnya mendapatkan pendidikan, bukan berarti para siswa itu terbebas dari kultur kejahatan. Salah satu ciri kejahatan adalah praktik kekerasan dan kekuatan. Di sekolah, para siswa sangat mudah melakukan praktik kekerasan dan mendisiplinkan tubuhnya agar menjadi kuat. Bukan rahasia, di sekolah ada komunitas gengster yang suka berkelahi, tawuran, dan mengonsumsi narkoba dan minuman beralkohol. Seperti yang terdengar beberapa waktu silam bahwa ada kelompok geng motor di sejumlah sekolah di Pati dan Purwokerto yang menguji loyalitas anggotanya dengan cara berkelahi, mencuri, dan bersikap anarkis. Para anggota gengster itu dilatih tubuhnya untuk bisa menjadi kuat, seperti latihan silat dan pendidikan mental layaknya anggota kepolisian.

Bordieu dalam Reproduction in Education, Society and Culture (1990) mengatakan, menjadikan kelompok manusia orang yang kuat bertarung dalam kompetisi yang patologis dan kebal akan represivitas struktur sosial-politik legal diperlukan pembentukan modal kultural dan simbolik. Dengan modal itulah, mereka kemudian bisa berkompetisi, bahkan mengalahkan pemilik modal ekonomis ataupun politik. Itu artinya sekolah juga bukanlah satu-satunya sarana reproduksi kejahatan dan kekerasan. Budaya masyarakat sekitar ternyata turut terlibat membentuk modal kultural yang berimbas pada akar kejahatan.

Kultur maskulinitas yang tertanam pada nilai patriarkal di Jawa tanpa disadari membentuk modal kultural pelaku kejahatan. Kebanyakan masyarakat Jawa sejak dini mendidik anak laki-lakinya agar mengilhami nilai-nilai keperkasaan, keberanian, serta kejantanan Baladewa ataupun Gatot Kaca. Imajinasi maskulinitas orang Jawa semakin menguat dalam ingatan anak karena kini banyak patung-patung ksatria Jawa yang mempertontonkan simbol keperkasaan tubuhnya dibangun di ruang-ruang publik.

Maka tak heran apabila seorang pakar maskulinitas dan kekerasan dari Newcastle University, Australia, menunjukkan hasil risetnya kepada saya bahwa Solo dan Yogya sekarang menjadi lumbung kekerasan dan kejahatan nasional, di samping Jakarta dan Makassar.

Tulisan ini memang terlalu singkat untuk mengurai akar reproduksi kejahatan secara detail. Paling tidak, apa yang dikupas di atas membuka cakrawala berpikir kita bahwa membendung akar reproduksi kejahatan harus dimulai dengan merevolusi struktur kebudayaan, seperti pendidikan dan keluarga. Masyarakat kita berhak mendapatkan pendidikan berkualitas dan beradab yang mengajarkan moralitas, humanisme, egaliterian, keadilan, perdamaian, dan berhati nurani. Anak-anak juga berhak mendapatkan kasih sayang berparadigma jender dari orangtuanya, yakni kasih sayang yang tidak menyuruh anak-anaknya mengutamakan budaya maskulinitas dalam interaksi sosialnya. ARDHIE RADITYA Sosiolog Perbanditan, Peneliti Budaya Kriminal di Unesa dan UCYD UNS Surakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com