Tegal, Kompas -
Penerapan pajak itu bakal mengancam kelangsungan usaha pedagang warung tegal (warteg), yang akhirnya berpotensi menambah banyak pengangguran.
Sekretaris Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Kota Tegal Suwatmo, Minggu (5/12), mengatakan, warteg bukan tipe restoran besar, bar, atau rumah makan kelas mewah sehingga tidak layak dikenai pajak. Apalagi, beban tanggungan pedagang warteg banyak. Dari omzet setiap hari, 65 persen untuk biaya operasional, seperti biaya tenaga kerja. Mereka juga menanggung biaya retribusi dan kebersihan. Mereka juga harus membayar uang kontrakan rumah (warung) senilai minimal Rp 15 juta per tahun. Padahal, dari 25.000-an pedagang warteg dari Kota Tegal, Kabupaten Tegal, dan Brebes di Jakarta, sekitar 85 persen masih mengontrak.
Selain itu, konsumen warteg mayoritas kalangan masyarakat menengah ke bawah. Jika pajak dibebankan kepada konsumen, hal itu pasti akan memberatkan mereka. Penasihat Pusat Koperasi Warteg Harun Abdi Manaf mengatakan, rencana Pemda DKI Jakarta menerapkan pajak 10 persen bagi warteg sama saja mematikan usaha warteg. Jadi, Pengurus Pusat Koperasi Warteg meminta agar rencana itu dibatalkan. Jika pajak diterapkan, para pedagang warteg akan unjuk rasa besar-besaran.