Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aturan soal Lingkungan Belum Jelas

Kompas.com - 06/12/2010, 08:12 WIB

Nina Susilo

Kasus perusakan maupun pencemaran lingkungan berulang kali terjadi. Masyarakat di sekitar lingkungan tercemar paling rentan terdampak, bahkan ada yang sampai terpapar bahan berbahaya dan tercerabut dari komunitas serta permukimannya. Namun, ganti rugi atas berbagai dampak yang dirasakan masyarakat umumnya tidak diberikan.

Prof Siti Maryani dalam orasi pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Hukum, Sabtu (4/12) di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, mencontohkan kasus-kasus pencemaran lingkungan yang penyelesaiannya tanpa ujung pangkal memuaskan.

Sebut saja kasus perusakan hutan reboisasi dengan PT Inti Indo Rayon Utama di Kalimantan, kasus Teluk Buyat, kasus Freeport, dan kasus lumpur Lapindo.

Perlindungan negara terhadap warganya yang terdampak kerusakan lingkungan seakan tidak ada. Padahal, kata Siti, Indonesia sudah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Aturan itu kemudian diganti dengan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan pada 2009 menjadi UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

UU No 4/1982 adalah langkah pertama Indonesia menuangkan prinsip deklarasi Stockholm pada 1972, Declaration of Human Environment, bahwa lingkungan hidup adalah hak asasi manusia sehingga harus dilindungi hukum secara memadai. Pada amandemen Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan pula dalam Pasal 28H bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi serta hak konstitusional setiap warga negara.

Sulit direalisasikan

Sejauh ini, Siti menilai ganti rugi kepada korban perusakan lingkungan sulit direalisasikan kendati sudah disebutkan dalam dalam Pasal 1 (25) UU No 32/ 2009.

Jadi, tuturnya, Indonesia seakan masih membiarkan pencemar asalkan membayar biaya pencemaran. Penjelasan Pasal 87 Ayat 1 peraturan yang sama menyebutkan ”ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi azas pencemar membayar”.

Kelemahan lain dalam ketentuan ini adalah sanksi perdata dan administrasi rancu. Kendati hakim dapat membebani pengusaha pencemar lingkungan dengan kewajiban seperti memasang atau memperbaiki unit pengolah limbah, memulihkan fungsi lingkungan hidup, dan menghilangkan penyebab pencemaran seperti tercantum pada Pasal 87 Ayat 1, sanksi ini masih macan ompong.

Sanksi untuk melakukan tindakan tertentu di samping membayar ganti rugi sesungguhnya sanksi administrasi atau bestuurdwang. Dalam Ayat 3 di pasal yang sama, pembebanan sanksi itu juga semakin kabur. Bahkan, pada Pasal 80 Ayat 2 tercantum ”pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran”.

Akibat ketidaktegasan peraturan itu, kata Siti, hakim bisa menerapkannya dan bisa tidak. Hakim juga bisa bersembunyi di balik aturan ini. Semestinya, Siti menambahkan, aturan ini tegas mewajibkan pencemar membayar ganti rugi atau sebagai gugatan perdata.

Masalahnya, masalah denda dan cara menghitung kerugian dan ganti rugi tidak dibahas dalam UU No 32/2009. Ketentuan perdata untuk menentukan ganti rugi kepada korban praktis tidak ada.

Hal ini mengingatkan pada UU No 4/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tata cara penuntutan dan penetapan nilai ganti rugi semestinya dibahas dalam peraturan pemerintah (PP). Namun sampai UU No 4/1982 dicabut dan diganti UU No 23/1997, PP tidak kunjung terbit.

Direvisi

Jika pemerintah berniat menegakkan aturan dan melindungi hak asasi warganya atas lingkungan sehat dan bersih, semestinya aturan direvisi.

Penegakan hukum atas pelanggaran di bidang lingkungan harus dilakukan dengan tegas. Masalah ini, kata Siti, juga memerlukan kesadaran bersama.

Siti memilih menekuni masalah hukum lingkungan sejak melanjutkan studi S-2. Saat itu, perempuan kelahiran Yogyakarta ini membahas pencemaran air sungai di Jatim dalam disertasinya.

Minat ini berangkat dari kegelisahan dirinya pada kerusakan lingkungan. ”Setiap pulang ke Yogyakarta, hutan yang dahulu rimbun di sekitar Ngawi sudah tidak ada,” ucapnya.

Ini belum lagi soal pembangunan dan pergerakan industri yang pasti berdampak pada lingkungan. ”Padahal, setiap orang akan selalu bersentuhan dengan lingkungan," tutur ibu dua anak dan nenek tiga cucu ini.

Tentu harus selalu diingat bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tidak seorang pun berhak menjajah hak asasi orang lain atas lingkungan sehat. Integri- tas moral bersama dan aturan tegas akan menjaga hak setiap warga itu.

 
***

Prof Dr Siti Maryani, SH MHum

• Lahir: Yogyakarta, 10 Oktober 1948 

• Keluarga 
Suami: Masriel Djamaloes 
Anak: Dietje Rieleza dan Adinda S Rosalinda 
Cucu: Adilla Arifiana, Rafialdo Arifian, Alifia Diva Diandra

 • Pendidikan 
Sarjana hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya,lulus 1967 
S-2 Universitas Airlangga Surabaya, lulus 1986 
S-3 Untag Surabaya, lulus 2008

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com