Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rebutan "Fulus" di Papan Reklame

Kompas.com - 15/12/2010, 10:03 WIB

ABDUL AZIZ SR

Tarik-menarik hak interpelasi di DPRD Kota Surabaya dalam kasus pajak reklame mengisyaratkan terjadi perebutan kepentingan di balik itu. Sejatinya, persoalan yang terjadi adalah, dengan mengikuti tesis Laswell, siapa mendapatkan apa, berapa, dan bagaimana dari pajak reklame di Surabaya.

Sepintas, kubu yang pro maupun yang kontra interpelasi, tampak sama-sama membela dan memihak kepentingan rakyat Kota Surabaya. Kubu pro, yang menghendaki tak ada kenaikan pajak reklame, tentu memberi ”angin surga” bagi pengusaha untuk dapat menekan biaya promosi. Anggaran yang dimiliki bisa dialihkan ke kegiatan lain, misalnya menggenjot target produksi atau menaikkan upah buruh.

Adapun kubu kontra yang ingin pajak reklame dinaikkan sungguh menjanjikan bagi peningkatan pendapatan daerah. Pendapatan tersebut kelak dikembalikan untuk kepentingan rakyat Surabaya.

Di tingkat permukaan, keduanya sama-sama masuk akal. Tak ada yang aneh dan perlu dipersalahkan. Benarkah demikian? Belum tentu. Bagaimana pun ini menyangkut persoalan ekonomi politik dan tak ada logika linier di dalamnya.

Mafia kebijakan

Kebijakan menaikkan pajak reklame merupakan wewenang Pemerintah Kota Surabaya dan itu jelas dasar hukumnya. Kebijakan tersebut menjadi sebuah pilihan tindakan yang baik jika dilakukan dengan lebih berpihak pada kepentingan masyarakat banyak dan keadilan ekonomi. Sebaliknya, ia menjadi sebuah kesewenang-wenangan pemerintah jika pertimbangannya lebih pada nafsu meningkatkan pendapatan daerah, tetapi akhirnya hanya untuk pesta elite dan penggemukan belanja rutin dalam APBD.

Perilaku Pemkot Surabaya dan juga daerah-daerah lainnya di Jawa Timur selama ini sangat bernafsu menggali sumber-sumber pendapatan, terutama dari beragam jenis pajak dan retribusi. Untuk itu, dibuatlah sederet perda penjaring. Pendapatan daerah pun menunjukkan kecenderungan naik signifikan dari tahun ke tahun. Anehnya, kenaikan tersebut tidak berjalan seiring dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, pendapatan daerah naik, tetapi rakyat miskin nyaris tak pernah berkurang.

Dalam konteks demikian, Pemkot hanya hadir ketika dan untuk menarik pajak dan retribusi dari masyarakat, tetapi absen saat dan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Di sinilah Pemkot tampil sebagai organisasi yang besar dan kuat, tetapi kehi- dupannya ditopang subsidi dari rakyat.

Kebijakan Pemkot Surabaya menaikkan pajak raklame bisa juga karena berdasarkan pertimbangan untuk memotong jejaring mafia kebijakan dari rezim sebelumnya. Akan tetapi, itu bukan untuk menertibkan dan membuat sistem yang transparan, melainkan untuk membangun jejaring baru bagi mafia-mafia kebijakan yang dapat dikendalikan oleh rezim baru. Ibarat kata orang, ke- luar dari mulut singa masuk ke mulut buaya. Jadi, sama bu- ruknya.

Kleptokratik

Sementara itu, kubu prointerpelasi yang menentang kenaikan pajak reklame karena dipandang memberatkan pengusaha, pada dasarnya bukanlah itu alasan utamanya. Itu hanya alasan di permukaan yang sengaja dipertontonkan kepada publik untuk mendapat simpati. Sangat mungkin yang terjadi sesungguhnya ada kelompok-kelompok yang terusik kepentingan ekonominya dengan kebijakan Pemkot itu.

Di Surabaya, dan di banyak kota lainnya di negeri ini, pemasangan reklame atau iklan-iklan produk komersial, lebih-lebih di tempat strategis, ada mafia kebijakannya sendiri. Mafia-mafia itu biasanya gabungan dari orang-orang pemerintahan (elite kekuasaan, pejabat birokrasi, dan politisi di DPRD) dengan kelompok-kelompok tertentu di mayarakat dan pengusaha (pemasang reklame).

Mereka selama ini sudah telanjur nyaman, mapan, dan mendapatkan banyak keuntungan dari ”bisnis” pajak reklame. Kebijakan Pemkot yang menghentak itu selain berpotensi menghilangkan pundi-pundi ekonomi mereka, juga bisa membuat terganggunya stabilitas berikut mengacak-acak jejaringnya yang sudah terbangun dan dipelihara sejak lama.

Fenomena tersebut menunjukkan betapa buruknya manajemen pemerintahan kota. Manajemen pemerintahan di kota sebesar dan sekelas Surabaya sesungguhnya tidak banyak diatur dengan aturan permainan resmi, tetapi lebih bersandar pada kesepakatan tidak resmi antarmereka yang ada di dalam organisasi pemerintah dengan para mafia kebijakan. Di sinilah kemudian muncul perilaku kleptokratik dalam organisasi pemerintahan.

ABDUL AZIZ SR Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Malang dan Peneliti Pusat Studi Politik danPertahanan Jakarta.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com