Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kembalikan Kota Sesuai Fungsinya

Kompas.com - 20/12/2010, 16:31 WIB

Oleh Neli Triana

Jakarta dan kota-kota di sekitarnya, yaitu Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang Selatan, dan Tangerang, memang tak terpisahkan. Kemajuan kota Jakarta selalu berimbas ke lima kawasan di sekelilingnya. Selain kemakmuran dan tingginya pertambahan penduduk, masalah khas Jakarta pun menular ke tetangga-tetangganya. Beberapa masalah khas itu adalah banjir, macet, masalah air bersih, kriminalitas, dan kemiskinan.

Apa yang terjadi di Jakarta sekarang, termasuk imbasnya ke kawasan sekitar, dimulai sejak tahun 1960-an. Sekitar 50 tahun lalu, pertama kalinya dilakukan pembukaan kawasan hijau besar-besaran atas nama pembangunan yang dampak negatifnya baru terasa sekarang,” kata sejarawan Restu Gunawan, Senin (13/12).

Restu mencatat, pembangunan kawasan Senayan telah membabat kawasan hijau seluas 300 hektar. Pembangunan Senayan digagas sejak 1959 dan pelaksanaan proyeknya dimulai pada 1962. Disusul kemudian pembangunan jalan tol pertama di Jakarta, yaitu Tol Jagorawi (Jakarta–Bogor–Ciawi) pada tahun 1973 dan selesai pada 1978. Tak terhitung luas kawasan hijau yang berubah menjadi ruas aspal kala itu.

Namun, Restu yang mengabdi di Direktorat Jenderal Sejarah Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyoroti, tidak ada salahnya membangun, apalagi demi kemajuan ekonomi kota atau negara, jika berkaca pada pembangunan Senayan dan Tol Jagorawi. Namun, ada satu kesalahan yang kemudian nyaris menjadi kebiasaan pada setiap pembangunan, yaitu mengesampingkan dampak negatif pada lingkungan sekitar, tidak menata berdasarkan konsep sinergi antarkawasan, dan upaya antisipasinya untuk 20, 30, atau 50 tahun berikutnya.

"Saat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta tahun 1966 ditetapkan, sudah disetujui soal pelestarian situ, penataan sempadan sungai, hingga pembagian kawasan permukiman, bisnis, dan fungsi-fungsi lainnya. Pada RTRW selanjutnya, penetapan serupa juga ada. Namun, selalu terjadi pelanggaran," kata penulis buku Gagalnya Sistem Kanal itu.

Kembali ke belakang, Restu menyebutkan, 400 tahun lalu ketika hutan dibabat dan rawa diuruk di daratan Teluk Jakarta, kemudian dijadikan kota kerajaan hingga kemudian diambil alih Belanda, pengabaian terhadap dampak lingkungan akibat pembangunan terus dilakukan.

Dalam buku Gagalnya Sistem Kanal, misalnya, disebutkan akibat banjir pada tahun 1830, ibu kota Hindia Belanda terpaksa dipindahkan dari kota lama Batavia ke Weltevreden. Fakta ini menjadi dasar sebuah analisis, yaitu jika masalah banjir tak kunjung diatasi, bukan mustahil Jakarta bakal tenggelam dan terpaksa ditinggalkan warga untuk selamanya. Ini akan terjadi pada tahun 2030-an, saat tibanya siklus banjir 200 tahunan.

Buku itu juga mengungkapkan bahwa kanal-kanal yang dibuat oleh Belanda, dan kini diadopsi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, bukan solusi tepat karena mengabaikan kondisi geografis Jakarta sebagai kota yang berada di daerah dataran sangat rendah. "Menurut saya, sekarang saatnya mengembalikan kota sesuai fungsinya. Pemerintah sekarang harus berani membuat terobosan dalam penetapan RTRW. Kalau tidak, bencana yang mungkin lebih parah menunggu 20 sampai 50 tahun ke depan," kata Restu.

Kendalikan Kawasan Hulu

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com