Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memanusiakan WAJAH KOTA

Kompas.com - 23/01/2011, 05:50 WIB
Ilham Khoiri

KOMPAS.com - ”Pakai helm bukan karena polisi. Tapi demi keselamatan Anda”. Di bawah kata-kata itu, ada gambar pengendara sepeda motor dengan dandanan necis: kepala ditutup helm, mulut dan hidung dibebat kain ”slayer”, dan badan dibalut jaket tebal.

Mural—demikian sebutan lukisan di dinding itu—memenuhi salah satu sisi tiang jembatan layang di bawah Stasiun Juanda, Jakarta Pusat. Permainan warna merah, oranye, dan pink pada gambar tersebut mencerahkan beton yang dingin. Lukisan pengendara sepeda motor yang karikatural bagaikan sapaan dari seorang sahabat.

”Dulu, tiang-tiang ini kotor. Sekarang, pemandangannya jadi ceria,” kata Yitno (30), salah satu tukang ojek, sambil tersenyum.

Lebih dari sekadar menghibur, mural itu menyelipkan pesan yang mengena bagi orang di sekitarnya. Maklum saja, di seberang mural di dekat hentian busway itu terdapat pos polisi. Tak jauh dari situ, ada dua pangkalan ojek. Sementara jalan di situ tak pernah sepi dari lalu lalang sepeda motor.

”Melihat tulisan itu, saya dan penumpang seperti terus diingatkan agar jangan lupa pakai helm,” papar Yitno sambil menunjuk dua helm yang tercantol di sepeda motornya.

Mural itu memang sederhana. Namun, kehadirannya mencairkan kehidupan keras di jalan raya. Karya itu hasil garapan komunitas Serrum, kelompok seni yang dimotori sejumlah alumnus Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta (UNJ), akhir tahun 2010.

Dengan spirit lebih kurang sama, komunitas Ruangrupa Jakarta membuat karya di ruang publik. Lewat proyek ”Jakarta 32 Derajat C”, misalnya, kelompok ini membuat sansak (karung tinju) atau kursi ayunan di dekat halte di jalan raya. Siapa pun bisa mencoba sarana bermain yang mengasyikkan itu.

Di Yogyakarta, kelompok Magersaren Art Project (MAP)— yang antara lain digiatkan seniman Samuel Indratma, Ong Hari Wahyu, dan Butet Kartaredjasa—memajang karya seni terpilih di Nol Kilometer di dekat Jalan Malioboro setiap enam bulan sekali. Awal Januari lalu dipajang patung setinggi sekitar 3 meter karya seniman Budi Ubrux.

Berbahan pelat, patung itu menyerupai bentuk nasi dengan bungkus daun pisang yang dilambari kertas koran. Pada kertas koran itu, ada gambar Sultan Hamengku Buwono X dan cuplikan pernyataannya terhadap tudingan sistem monarki terkait dengan wacana keistimewaan Yogyakarta. Ada juga gambar Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto serta berita erupsi Gunung Merapi.

Inspirasi karya ini lahir dari peristiwa erupsi Merapi, November 2010. Saat itu, lewat pesan pendek (SMS) dadakan, warga serentak menyediakan nasi bungkus bagi pengungsi Merapi. Dalam waktu singkat, ribuan bungkus nasi pun beredar ke barak pengungsian. Patung itu menjadi monumen atas solidaritas warga Yogyakarta di tengah duka karena Merapi dan kerap tidak hadirnya negara saat rakyat membutuhkannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com