JAKARTA, KOMPAS.com — Kemacetan parah yang kerap terjadi di jalan-jalan Ibu Kota mengakibatkan banyak pengguna jalan menyerobot busway. Di sisi lain, keteraturan jadwal bus transjakarta pun semakin dituntut mengingat tumpukan calon penumpang yang sering terlihat di shelter-shelter busway sejak dihentikannya sejumlah jalur bus reguler.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus mencoba berbagai kemungkinan demi kelancaran transportasi ini. Salah satu upaya yang sedang terus dijajaki adalah kebijakan contra-flow (lawan arah) jalur busway. Apakah contra-flow bisa diterapkan?
Bambang, pengemudi transjakarta di Koridor II, Pulogadung-Harmoni, mengaku tidak ada masalah dari pihak pengemudi jika sistem baru diberlakukan. Menurut dia, masalah justru akan timbul bagi pengguna jalan lain.
"Cukup berbahaya karena banyak (pengguna jalan) yang akan bingung," terang Bambang saat ditemui di shelter Pulogadung, Senin (28/2/2011).
Pengemudi dan pengendara motor di Jakarta, menurut dia, masih jauh dari tertib. Hal ini bisa berakibat fatal bila contra-flow diberlakukan.
Ia mencontohkan, kebiasaan melanggar aturan lampu merah. Si pelanggar biasanya sudah mengantisipsi arah kendaraan di jalur lain. Namun, dengan adanya contra-flow, potensi kecelakaan semakin terbuka.
Hal yang sama dibenarkan oleh rekannya, Ndang. Menurut dia, kesulitan bagi pengendara lain adalah faktor kebiasaan umum.
"Orang sudah biasa melirik ke kanan kalau ingin belok dan memotong busway. Itu enggak bisa diubah begitu saja, kan udah refleks," ujarnya, menjelaskan potensi bahaya contra-flow.
Pendapat berbeda diungkapkan Sukana. Ia menilai, ada juga masalah lain yang bisa mereka alami, yaitu mesin bus transjakarta yang rawan mogok.
"Nah, kalau mogok di jalur contra-flow, apalagi saat macet, bagaimana?" katanya.