Arbain Rambey
Seorang wisatawan yang sempat melewati jembatan sepanjang 26 kilometer di Denmark tentu akan bangga kalau bisa mengirimkan kartu pos bergambar jembatan itu kepada keluarga dan teman-temannya di tanah air. Demikianlah, sampai saat ini kartu pos tetap hadir dalam berbagai bentuk karena sifatnya yang ”romantis” tersebut.
Dia terkirim dengan sentuhan pribadi pengirimnya, yaitu dari pilihan kartu dan tulisan tangan. Romantisisme lain adalah kenyataan kehadirannya secara fisik pada era semua serba digital saat ini. Sebuah kartu pos akan tersimpan sebagai tempelan di lemari es, penyekat buku, atau bahkan dibingkai sebagai hiasan dinding.
Kartu pos dari masa lalu banyak menjadi barang kokeksi yang harganya sangat tinggi. Di Indonesia, kartu pos bergambar Kota Jakarta dari tahun 1950-an dengan cetakan asli berharga puluhan ribu rupiah di pasaran kolektor. Adapun kehadiran prangko pada sebuah kartu pos seakan menjadi tonggak penjaga agar prangko tetap hadir di dunia ini dan jasa pos tetap bertahan.
Kartu pos mulai hadir pada pertengahan abad ke-19. Dari berbagai data sejarah yang bisa didapat, konon kartu pos pertama dikirimkan oleh penulis/kartunis Inggris, Theodore Hook, pada tahun 1840. Kartu pos pertama tersebut bergambar karikatur buatan Hook, yang mengkritik kinerja petugas pos Inggris pada masa itu. Jadi, pilihan Hook untuk tidak memakai amplop pada suratnya tersebut memang bertujuan ”memamerkan” opininya dengan terbuka.
Namun, tampaknya pilihan Hook untuk tidak memakai amplop menjadi ide menarik bagi banyak orang. Dengan mengurangi materi pada sebuah surat, kartu pos menjadi ringan. Otomatis biaya pengirimannya jadi murah.
Setelah menjadi kegemaran umum di Inggris, popularitas kartu pos kemudian menyeberang sampai ke Benua Amerika bahkan segala perkembangannya berlangsung di Negeri Paman Sam itu. Sampai-sampai standar kartu pos pertama di dunia dibuat di sana.
Biro Pos AS pada abad ke-19 itu menstandarkan bahwa sebuah kartu pos adalah benda pos yang terbuat dari kertas tebal atau