JEMBER, KOMPAS
Dalam rancangan peraturan daerah (perda) tentang pajak daerah yang diajukan eksekutif itu, pemerintah akan memungut pajak 10 persen pendapatan bersih dari setiap pedagang kaki lima dengan perputaran usaha Rp 36,5 juta setahun atau Rp 3 juta per bulan atau Rp 100.000 per hari.
”Ini sangat tidak adil karena pajak yang dibebankan kepada PKL disamakan dengan pajak daerah yang dikenakan kepada pengusaha hotel, restoran, warung, bar, dan kantin,” kata Ketua Forum Komunikasi Anak Bangsa, Suharyono, di Jember, Rabu (13/4).
Ketua Badan Legislasi DPRD Jember Lukman Winarno mengaku telah menerima draf rancangan perda tentang pajak daerah itu. ”Selain PKL yang bakal dikenai pajak 10 persen, penyelenggara seminar, simposium, dan workshop yang memungut biaya dari peserta juga dikenai pajak,” katanya.
Menurut Suharyono, membebani pajak kepada pedagang dengan omzet Rp 100.000 per hari perlu dikritisi. Pasalnya, untuk belanja modal saja mungkin sudah lebih dari separuh, belum lagi untuk kebutuhan makan sehari-hari. ”Syukur kalau dari penerimaan Rp 100.000 itu PKL masih bisa menabung. Kalau habis untuk belanja modal, apa yang harus dibayarkan untuk pajak?” kata Suharyono.
Suherman, pemilik warung di Jalan Diponegoro, mengaku keberatan jika harus dikenai pajak 10 persen dari penghasilan yang didapat. ”Warung saya hanya buka setengah hari, pukul 08.30-15.00. Yang dilayani pegawai kantoran dan pelayan toko,” katanya.
Penghasilan kotor setelah dikurangi belanja modal tidak terlalu banyak, paling sekitar
Ia mengaku pernah didatangi petugas pajak supaya aktif membayar. ”Saya bilang penghasilan sangat kecil. Akan tetapi, diminta setiap bulan membayar Rp 25.000. Jelas saya keberatan,” katanya.
Ia mengaku khawatir apabila pajak itu akan diterapkan.