Jakarta, Kompas -
Hal itu terungkap dalam media edukasi bertajuk ”Alergi Susu Sapi Bukan Penghalang Pertumbuhan Anak”, Rabu (27/4) di Jakarta.
Zakiudin Munasir dari Divisi Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo mengatakan, alergi susu sapi terjadi jika kekebalan tubuh bereaksi terhadap protein dalam susu sapi. Zat antibodi immunoglobulin E (IgE)
sensitif terhadap zat spesifik. Sebagian anak sensitif terhadap protein dalam susu sapi. ”Komponen protein pada susu sapi yang sering menimbulkan reaksi alergi adalah beta-lactoglobulin,” katanya.
Protein itu memicu terbentuknya zat antibodi. Terlebih, saluran pencernaan anak belum berfungsi sempurna. Reaksi kekebalan tubuh, antara lain pelepasan histamin, zat yang menimbulkan berbagai reaksi alergi pada tubuh seperti kulit kemerahan, gatal, bengkak, dan eksim. Anak mengalami diare disertai darah, muntah, sakit perut, batuk pilek berulang, sesak napas, dan asma. Seiring bertambahnya usia, pencernaan dan kekebalan tubuh anak bertambah kuat. Alergi susu sapi umumnya hilang pada usia 1-3 tahun. Pada sedikit kasus alergi menetap lebih lama.
Dokter spesialis anak Atilla Dewanti mengatakan, anak dengan alergi susu sapi sebaiknya diberi ASI yang merupakan nutrisi terbaik bagi bayi. ASI akan berefek positif terhadap sistem kekebalan tubuh anak. Jika ibu tidak dapat memberikan ASI karena suatu hal, dapat diberikan susu pengganti, misalnya susu berbahan dasar nabati. Alternatif lainnya ialah susu yang komponen proteinnya sudah dihidrolisis (dipecah).