Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Industri "Gondok" Mati

Kompas.com - 04/06/2011, 05:31 WIB

PALEMBANG, KOMPAS - Industri kerajinan eceng gondok yang sempat berkembang di Palembang, Sumatera Selatan, gulung tikar dan terpaksa merumahkan para pegawainya. Kondisi itu mengakibatkan permintaan ekspor terhenti karena kualitas kerajinan eceng gondok mudah berjamur dan hancur saat berada di konsumen.

Perajin eceng gondok dari Kampung Rawa Maju, Kelurahan Sukamoro, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Uung Maskur (42), telah menutup kios kerajinan eceng gondok miliknya dan merumahkan seluruh pegawainya yang berjumlah 12 orang sekitar tiga bulan lalu. ”Sudah beberapa bulan ini tidak ada pesanan eceng gondok sama sekali, akhirnya ditutup saja,” katanya, Jumat (3/6).

Pada tahun 2006, Maskur bisa menjual 5-10 set meja kursi berbahan baku eceng gondok dengan harga Rp 3,5 juta-Rp 6 juta per set. Mebel eceng gondok dipasarkan ke beberapa daerah dalam negeri dan diekspor ke Malaysia dan Brunei melalui perantaraan pihak ketiga.

Turunnya pesanan terjadi sejak adanya keluhan soal mebel berbahan eceng gondok yang mudah terserang jamur dan hancur saat berusia satu tahun.

Sejak dirumahkan, pegawai Maskur beralih pekerjaan. ”Ada yang menjadi buruh, tetapi tidak ada yang melanjutkan pekerjaan di bidang kerajinan,” tuturnya.

Hal serupa dialami bengkel kerajinan eceng gondok Karya Sejati milik Wiryo Suparjo (54) di Plaju, Palembang. Sepinya pesanan membuat bengkel ini merumahkan 18 pegawai sekitar dua tahun lalu.

Saat ini bengkel kerajinan itu hanya ditangani keluarga dan beralih ke kerajinan rotan dipadu serat alam lain, seperti pelepah pisang dan rumput kelingi.

Mudah serap air

Wiryo mengatakan, eceng gondok mudah terserang jamur karena teksturnya yang mirip busa bisa menyerap air. Berbagai teknik pengawetan telah dicoba, tetapi belum berhasil.

”Penelitian beberapa perguruan tinggi juga pernah saya coba, mulai dari pengeringan hingga penjemuran. Tetapi, mebel eceng gondok hanya bertahan setahun, setelah itu tetap berjamur. Tanpa pengawetan, daya tahannya hanya tiga bulan,” ujarnya.

Pada 2004-2007, Wiryo memasarkan tas, sandal, suvenir, dan furnitur eceng gondok. Pemasarannya telah menembus Perancis, Australia, dan Singapura melalui perantaraan eksportir. Omzet tahun 2006 rata-rata Rp 90 juta per bulan. Namun, sejak tidak ada perantara eksportir sekitar tahun 2008, omzet usaha Wiryo turun hingga 70 persen.

Di Palembang dan Banyuasin terdapat sekitar lima perajin eceng gondok. Industri kecil ini dulu mampu menyerap puluhan perajin yang umumnya berasal dari pinggiran Palembang dan Kabupaten Banyuasin.

Beberapa mantan pegawai Wiryo mulai mengumpulkan rumput kelingi sebagai bahan baku kerajinan pengganti eceng gondok. ”Tetapi, kerajinan ini belum sebesar eceng gondok. Kami kekurangan modal untuk menembus pasar ekspor lagi,” ujarnya.

Kepala Bidang Pembinaan Industri Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang Rosidi Ali mengatakan belum memiliki data tentang perkembangan kerajinan eceng gondok. ”Setahu saya ada satu pemilik usaha kerajinan yang mempunyai beberapa perajin,” katanya.

Kendalanya, kurang tenaga ahli. Padahal, bahan baku melimpah dari banyaknya rawa dan sungai di Sumsel. (IRE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com