Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komunikasi dan Transformasi Polri

Kompas.com - 01/07/2011, 02:39 WIB

Budi Gunawan

Menjelang perayaan HUT ke-65, Polri dihadapkan pada situasi yang memprihatinkan. Sejumlah aparat menjadi korban kekerasan di lapangan.

Fenomena ini tentu bukan kado istimewa yang disiapkan masyarakat. Sekalipun demikian, Polri berusaha memaknai fenomena ini dari perspektif berbeda agar momen ini jadi momentum introspeksi dan retrospeksi diri. Maraknya aksi kekerasan bersenjata terhadap kepolisian membuat semua pertanyaan mengerucut pada satu hal, ada apa dengan kepolisian kita? Serangan bertubi-tubi itu pun tak hanya terjadi di lapangan saja, tetapi juga dalam opini di media.

Alih-alih mendapat empati atas gugurnya sejumlah Bhayangkara yang diterjang timah panas dalam menjalankan tugas, sejumlah pengamat justru menempatkan Polri sebagai terdakwa, seakan kekerasan terhadap polisi terjadi karena ulah polisi itu sendiri. Pandangan ini sangat bertentangan dengan pendapat para pakar, seperti William Jasper, Madeleine Gruen, Dean Alexander MartinLibicki, Peter Chalk, dan Melanie Sisson, yang menyatakan fenomena ini sebagai strategi kaum teroris. Sekalipun demikian, Polri menerima tudingan tersebut sebagai wahana untuk melakukan refleksi.

Sikap positif Polri ini sesuai ungkapan yang didengungkan filsuf Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche, yang menyatakan, ”Was micht nicht umbringt macht mich staerker.” Apa pun kejadian yang menimpa, selama hal itu tak memusnahkan, justru akan memperkuat kita. Nietzsche memang tak keliru, tekanan akan membuat seseorang lebih kuat, dan Polri berdiri dalam perspektif ini. Berbagai tudingan dan prasangka tersebut diterima Polri sebagai manifestasi dari kritik yang didasari oleh kecintaan masyarakat terhadap polisi itu sendiri. Satu hal yang perlu digarisbawahi, masyarakat mencintai polisi sehingga melontarkan berbagai kritik. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana Polri membalas rasa cinta masyarakat itu.

Tuntutan perubahan

Pada era yang begitu dinamis dan menempatkan tuntutan masyarakat sebagai panglima ini, perubahan memang telah jadi suatu conditio sine qua non atau suatu keharusan bagi Polri untuk dapat mengemban tugas pokok, fungsi dan perannya secara optimal. Apalagi pada saat bersamaan wajah serta performa hukum masih jauh dari harapan masyarakat. Sebagai garda terdepan penegakan hukum, Polri harus jadi lokomotif bagi pembaruan hukum agar dapat memenuhi harapan masyarakat. Berbagai kritik dan tuntutan ini harus dilihat sebagai proses eksaminasi terhadap Polri. Jika berhasil melalui berbagai deraan atau eksaminasi ini, Polri berpeluang menjadi pahlawan di hati masyarakat.

Polri harus lebih mampu lagi mengelola sentimen publik agar masyarakat selalu berdiri di belakang Polri. Kelemahan mengelola sentimen publik selalu menyebabkan citra Polri berada di ujung tanduk. Tanpa kepercayaan, tugas Polri akan kian kompleks karena itu senjata utama kepolisian pada era demokratis ini. Kepercayaan hanya dapat terbangun melalui perubahan. Dari sinilah membangun kemitraan yang jadi fokus dari Grand Strategy Polri tahap II dimungkinkan. Untuk itu, Polri harus benar-benar melakukan perubahan, tak sebatas terjebak pada retorika tanpa implementasi.

Setidaknya Polri kini telah menunjukkan keseriusannya untuk berubah. Hasrat ini tecermin dari tema yang diusung pada Hari Bhayangkara ke-65, ”Dengan Semangat Kemitraan Kita Mantapkan Revitalisasi Polri Guna Mewujudkan Pelayanan Prima”. Tema ini sesuai maksim yang jadi kerangka kerja legal bagi penegakan hukum, yaitu salus populi suprema lex atau penegakan hukum demi kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama.

Pelayanan prima yang ingin diwujudkan Polri merupakan manifestasi dari maksim penegakan hukum yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama. Dengan tujuan ini sejatinya Polri telah berada dalam jalur yang benar. Persoalannya, hasrat ini tak terjemahkan atau tidak dikomunikasikan dengan baik sehingga masyarakat memiliki persepsi berbeda.

Kesimpulannya, semua berakar pada hambatan komunikasi. Komunikasi adalah proses yang bersifat aktif, bukan pasif. Bukan sekadar pertukaran informasi atau tuntutan satu sama lain, melainkan proses persentuhan, mendengar, dan memahami yang diutarakan kedua belah pihak. Hambatan inilah yang harus diatasi. Pada usia yang kian matang, Polri dituntut mampu mengoptimalkan komunikasi dengan masyarakat sehingga masyarakat dapat lebih memahami kompleksitas tugas kepolisian.

Dengan pemahaman ini tentu tak akan ada lagi kekerasan terhadap polisi, di lapangan ataupun di media. Berbagai tempaan yang telah dialami selama 65 tahun ini tentu akan mendewasakan Polri sehingga Polri menjadi lebih arif lagi menyikapi tuntutan masyarakat. Was mich nicht umbringt macht mich staerker.

Budi Gunawan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com