Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KRL Ekonomi Kembang Kempis

Kompas.com - 04/07/2011, 03:07 WIB

Jakarta, Kompas - Dana subsidi atau public service obligation untuk KRL ekonomi semakin menurun dari tahun ke tahun. Hal ini membuat perkembangan KRL ekonomi merosot, sementara tarif KRL ekonomi sangat murah. Tidak heran jika kualitas pelayanan sulit dinaikkan.

Tahun 2008, public service obligation (PSO) untuk KRL ekonomi Rp 131.639.748.745 dan turun menjadi Rp 123.709.273.548 pada 2009. Tahun 2010, PSO KRL ekonomi tinggal Rp 89.921.481.809.

Penurunan PSO ini terkait penurunan jumlah armada kereta yang berujung pada pengurangan perjalanan KRL ekonomi. Penurunan jumlah armada juga terlihat dari merosotnya jumlah penumpang KRL ekonomi dari waktu ke waktu. Tahun 2008, tercatat 101 juta penumpang KRL ekonomi, tahun 2009 jumlahnya hanya 86,69 juta orang, dan tahun 2010 jumlahnya tinggal 69,388 juta penumpang.

Sementara tarif KRL ekonomi saat ini antara Rp 1.000 dan Rp 2.000. Tarif KRL ekonomi belum menutup biaya operasional sehingga dibutuhkan subsidi pemerintah.

”Dana PSO untuk KRL yang diterima PT KAI semakin menurun. Sementara ada peningkatan kebutuhan sarana KRL dan untuk peningkatan pelayanan. Jadi, dana dari pemerintah tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat akan pelayanan yang lebih baik,” tutur Vice President Angkutan Penumpang dan Customer Care PT KAI Husein Nurroni, Minggu (3/7).

Hingga kini, ada 110 armada KRL ekonomi yang beroperasi. Sebagian kondisinya memprihatinkan. Ada kereta dengan lantai yang sudah terkelupas dan hanya ditambal dengan besi.

Husein mengatakan, pemerintah bisa mengadakan penambahan sarana kereta baru untuk dioperasikan sebagai KRL ekonomi. Kereta itu tidak harus kereta non-AC seperti yang dioperasikan saat ini.

Namun, perlu komitmen pemerintah untuk menyertakan PSO agar tidak terulang lagi persoalan seperti ketika KRL ekonomi AC dijalankan. ”KRL ekonomi AC tidak diberi PSO, padahal tarif Rp 4.500-Rp 5.500 tidak menutupi biaya operasional,” kata Husein.

Tidak adanya PSO untuk KRL ekonomi AC dijawab PT KAI dan PT KCJ dengan meleburkan KRL ekonomi AC dan KRL ekspres menjadi KRL commuterline nonsubsidi. Commuterline resmi beroperasi pada 2 Juli.

Efisiensi

Direktur Utama PT KAI Ignasius Jonan akan mendorong efisiensi biaya operasional commuterline. Efisiensi dibutuhkan karena tarif yang berlaku saat ini masih di bawah perkiraan biaya operasional.

Untuk Jakarta-Bogor, misalnya, biaya operasional adalah Rp 8.000-Rp 9.000 per penumpang. Semula, tarif ditetapkan Rp 9.000 untuk seluruh tujuan di koridor ini. Belakangan, atas desakan sejumlah pihak, tarif lantas turun menjadi Rp 6.000-Rp 7.000.

Efisiensi, menurut Jonan, merupakan langkah pertama yang dilakukan. Jika langkah ini tidak menyelesaikan persoalan, pihaknya terpaksa menaikkan tarif secara bertahap. Namun, ia belum bisa memastikan waktunya.

”Langkah itu harus diambil supaya tidak defisit. Kalau defisit, akan berbahaya karena tidak bisa reinvestasi. Investasi ini penting karena kereta yang digunakan tentu akan semakin tua dan perlu diganti kereta baru. Nanti akan kami evaluasi tarif. Evaluasi bukan untuk menjaring keuntungan, tetapi agar tidak defisit dan KRL commuterline ada kesinambungannya,” papar Jonan.

Sekretaris Umum Asosiasi Penumpang Kereta Api (Aspeka) Anthony Ladjar mengatakan, pemerintah perlu memikirkan masa depan KRL. Persoalan tarif kereta perlu memikirkan dua sisi, yakni kemampuan ekonomi penumpang membiayai ongkos transportasi dan keberlanjutan transportasi.

Dari sisi kemampuan penumpang, perlu ada perhitungan besaran biaya transportasi yang dikeluarkan masyarakat. Biaya transportasi idealnya 10 persen dari gaji satu bulan. Perhitungan biaya transportasi ini perlu masuk dalam komponen upah minimum provinsi.

Apabila tidak, negara harus memikirkan persoalan transportasi bagi komuter agar kualitas transportasi lebih nyaman, tepat waktu, dan mengutamakan keselamatan penumpang.

Dia mendukung KRL komuter dengan satu tarif tanpa pembedaan kelas. Namun, untuk besaran tarif perlu dipikirkan bersama operator dan pemerintah.

Husein menambahkan, PT KAI juga harus menanggung biaya perawatan dan pengoperasian kereta ekonomi. Padahal, beban perawatan dan pengoperasian kereta ekonomi seharusnya dibebankan ke pemerintah.

”Kami berharap dana perawatan dan pengoperasian kereta milik pemerintah ini dialokasikan dananya dalam APBN yang akan datang agar sarana dan prasarana kereta api dapat ditingkatkan keandalannya,” ucap Husein.

Belum tahu

Tentang penerapan tarif baru KRL Jabodetabek, hingga kemarin ternyata masih ada juga warga yang belum tahu.

Salah satunya penumpang dari Bekasi, Jawa Barat, Sofyan (36). Ia biasanya menumpang KRL ekspres dengan pertimbangan kenyamanan dan kecepatan. Namun, setelah pemberlakuan tarif baru ternyata tidak ada lagi KRL ekspres itu.

”Sejak penerapan tarif dan rute baru, KRL ekspres sudah tidak ada lagi. Sekarang bayarnya lebih mahal, tetapi kenyamanan menurun,” ujarnya di Bekasi, Minggu (3/7).

Sofyan masih mengeluhkan soal ketepatan waktu kedatangan KRL. ”Banyak pengguna lain mengeluh sekarang lebih lambat karena terlalu banyak berhenti. Di semua stasiun berhenti,” ujarnya.

Penumpang lain, Arfani (40), berharap pengelola KRL seharusnya mengompensasi kenaikan tarif dengan pelayanan KRL yang lebih baik. Jika hal itu dilakukan, penumpang bisa memaklumi kenaikan tarif. (GAL/ART/RAZ)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com