Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kembali ke Kota" yang Salah Kaprah

Kompas.com - 03/08/2011, 14:34 WIB

 

KOMPAS.com - Jakarta kini tengah giat membangun. Bangunan-bangunan tinggi bermunculan serentak di lima kota di Ibu Kota. Pusat perbelanjaan bergabung dengan apartemen mewah mudah ditemui di Kemang, Prapanca, Pakubuwono, sampai Casablanca di Jakarta Selatan. Pemandangan serupa terlihat di Kelapa Gading, Jakarta Utara, atau di beberapa titik di Jakarta Barat.

Di spanduk atau baliho di tepi jalan, satu unit apartemen seluas kurang dari 100 meter persegi bisa dihargai hingga di atas Rp 2 miliar. Di televisi, iklan para pengembang ini tak kalah gencar mempromosikan apartemen, rumah toko/ruko, hingga kios di pusat perbelanjaan terpadu dengan hunian. Patokan harga ratusan sampai miliaran itu pun dicap murah mengingat lokasinya strategis di pusat Jakarta.

”Mirisnya, di sudut mana pun mencari, tidak ada perumahan atau rumah susun sederhana di kompleks hunian gedung tinggi itu. Sementara perumahan kumuh masih menjadi masalah tak terpecahkan di Jakarta,” kata arsitektur lanskap Nirwono Joga, Selasa (2/8/2011).

Ketua Jurusan Penataan Ruang dan Real Estat Universitas Tarumanagara Suryono Herlambang mengatakan, konsep kembali ke kota atau lebih populer didengar dalam bahasa Inggris back to the city adalah konsep yang salah kaprah.

”Jika di negara maju, beberapa kota besar memang didesain menjadi kawasan hunian padat dengan bentuk gedung-gedung tinggi. Apartemen mewah sampai rumah susun kelas buruh tersedia seimbang. Namun, itu tidak terjadi di Jakarta,” kata Suryono.

Konsep kembali ke kota juga tidak muncul dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) DKI Jakarta. ”Itu sepenuhnya ide swasta,” katanya.

Ide swasta itu pun tidak pernah ditanggapi serius oleh Pemprov DKI Jakarta dengan menyinkronkan tata ruangnya.

”Kalau kita lihat di Bogota, setelah pemerintah membangun jalur busway, sepanjang jalur itu dikembangkan hunian padat di gedung-gedung tinggi. Sementara di kita, swasta jalan sendiri, pemerintahnya mau membuat reklamasi dan mass rapid transit,” kata Suryono lagi.

Guru Besar Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Tommy Firman menambahkan, di Kopenhagen, Denmark, dan Vancouver, Kanada, pemerintah setempat memberi insentif baik kepada pengembang dan warga yang mau pindah ke tengah kota, tepatnya menghuni gedung hunian tinggi.

”Biayanya besar memang, tetapi mereka berhasil. Kota jadi tertata, termasuk masalah transportasi publik, penghematan bahan bakar, dan banyak lagi,” kata Tommy.

Akan tetapi, Tommy tidak yakin konsep serupa bisa diterapkan di Indonesia. Rasa pesimistis dikarenakan kondisi birokrasi di negara ini yang demikian akut terbelit budaya korupsi, kolusi, dan apa saja bisa diselesaikan dengan uang.

”Kecuali jika pemerintah bisa berkeras merealisasikan proyek 1.000 menara. Menata kawasan kumuh pinggir sungai, kepadatan penduduk di balik gedung-gedung mewah di pusat kota, dan lainnya,” kata Tommy.

Menurut Tommy, perlu kepemimpinan yang kuat dan memiliki visi jauh ke depan untuk menata Jakarta, juga Indonesia.

Namun, harapan Tommy itu mungkin sulit terpenuhi dalam waktu singkat. Saat ini saja, rancangan peraturan daerah rencana tata ruang wilayah (Raperda RTRW) DKI Jakarta 2010-2030 belum juga terselesaikan. Jakarta tidak memiliki dasar kuat untuk menata dan membangun kotanya 20 tahun ke depan.

”Kami sudah membuat rancangan perda RTRW baru. Penyusunannya sendiri diawali dengan evaluasi, konsultasi publik yang melibatkan berbagai pihak seperti LSM, REI, dan pemda di sekitar Jakarta. Akhir 2010 lalu sudah kami serahkan ke DPRD, tetapi hingga kini masih belum mendapat persetujuan dari DPRD,” harap Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.

Pengembang mendukung

Corporate Secretary PT Agung Podomoro Land Tbk Prisca Batubara menampik tudingan pihaknya hanya membangun apartemen untuk kelas menengah atas. ”Kami bangun juga rumah susun sederhana hak milik (rusunami) seperti di Gading Nias dan Kalibata City. Setidaknya sudah ada 20.000 unit yang kami sediakan dengan harga per unit rata-rata Rp 144 juta,” kata Prisca.

Menurut Prisca, pembangunan rusunami mengacu pada kebijakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. ”Begitu ada putusan kebijakan itu, pengembang langsung melaksanakan. Jadi, kami sangat tergantung pada kebijakan pemerintah memang.”

Meskipun kini proyek 1.000 menara rusun sederhana gaungnya mulai berkurang, Prisca menegaskan, Agung Podomoro tetap konsisten membangun rusunami. Kini, Agung Podomoro menguasai sedikitnya 15 proyek hunian berupa apartemen, town house, maupun rukan di lahan seluas sekitar 25 hektar tersebar di Jakarta

Sebagai pengembang perumahan, kata President Director PT Summarecon Agung Johanes Mardjuki, di Jakarta, Senin (1/8), pihaknya tidak membangun kota mandiri, melainkan mengembangkan kawasan berskala kota, baik itu di Jakarta maupun di luar Jakarta. Dalam konsep ini, hunian dibangun paralel dengan penyediaan pelayanan.

Tujuannya tak lain agar permukiman dan pusat ekonomi yang dikembangkan menjadi destinasi bagi penghuni permukiman dan warga di sekitarnya. ”Karenanya, kami tetap membutuhkan dukungan pemerintah untuk penyediaan infrastruktur,” kata Johanes.

Salah satu infrastruktur yang mendesak saat ini dan juga dibutuhkan untuk mengatasi kemacetan, menurut Johanes, adalah ketersediaan transportasi publik yang memadai, nyaman, dan aman. Dengan demikian, warga yang telah bermukim di luar Kota Jakarta seperti di Summarecon Serpong, Tangerang, tak perlu lagi menggunakan kendaraan pribadi untuk berangkat kerja ke Jakarta.

Akses kereta dari Bekasi ke Jakarta, lanjutnya, merupakan salah satu moda yang cukup mumpuni. Namun, sayangnya, itu belum didukung oleh stasiun kereta api di Bekasi yang nyaman bagi para penumpangnya.

”Hal ini pun harus dipikirkan bersama, termasuk ketersediaan jalan tol seperti JORR (jalan lingkar luar Jakarta) agar cepat diselesaikan,” katanya.

Johanes mengatakan, di Kelapa Gading, Jakarta Utara, pihaknya menguasai sekitar 550 hektar lahan. Sementara di Bekasi ada 240 hektar, tetapi yang dibebaskan baru seluas 200 hektar. Khusus di Serpong, sejak berpisah dengan PT Paramount, PT Summarecon hanya memiliki lahan 550 hektar.

Menurut Johanes, sejauh ini pengembangan real estate di dalam dan luar Kota Jakarta masih sangat menjanjikan. Setiap kali dibuka penawaran untuk penjualan rumah dan apartemen, dalam waktu singkat dapat habis terjual kendati harga per unitnya rata-rata di atas Rp 300 juta. (NEL/MDN/ARN/GAL/NDY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com