Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Sipirok ke Pasar Induk Kramatjati

Kompas.com - 11/08/2011, 03:25 WIB

Selintas cuma pedagang musiman buah atap atau kolang-kaling. Namun, siapa mengira, setiap mengawali usahanya, juragan atap ini harus menyiapkan uang Rp 300 juta.

”Biasanya, tiga hari sebelum puasa, saya setor uang sebesar itu kepada petani pemetik buah atap di hutan Sipirok, Tapanuli Selatan,” kata Triyono, yang sejak tahun 1980-an jadi pedagang musiman buah atap di Pasar Induk Kramatjati, Rabu (10/8).

Kali ini dia membuka tiga lapak di halaman dalam pasar. Berpuluh karung ukuran besar berisi buah atap berjejal di lapaknya. ”Harga buah atap super Rp 7.000 per kilogram, atap biasa Rp 6.000, dan buah atap kecil Rp 5.000 per kilogram,” ujarnya.

Triyono menjelaskan, setelah ia menyetor uang kepada petani, petani transmigran dari Jawa Tengah itu berangkat ke hutan memanjat pohon aren, memetik buah atap. Buah atap dibawa ke rumah masing-masing, direbus, dikupas, diketok satu per satu, lalu direndam dalam air tawar selama tiga hari agar lendir buah atap lepas. Buah atap lalu dimasukkan karung-karung.

Dari Sipirok, atap dibawa ke Pasar Induk Kramatjati dengan truk. Setiap truk mengangkut 8 ton buah atap. ”Setiap hari saya menerima buah atap empat truk seberat 32 ton. Dua truk datang pukul 04.00, dua truk berikutnya datang pukul 15.00,” kata Triyono yang sehari-hari membuka toko kebutuhan pokok di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Pria beranak lima ini mulai membuka toko kebutuhan pokok tahun 1978.

Selama bulan puasa, ia berdagang buah atap. Kegiatan toko ia serahkan kepada istri dan dua pekerja, sedangkan usaha buah atapnya dibantu enam pekerja.

Selama berdagang pada bulan puasa, ia merogoh kocek Rp 2 miliar untuk membeli buah atap di luar uang yang ia setor sebanyak Rp 300 juta. ”Uang Rp 300 juta itu cuma uang jaminan selama proses pengolahan atap berlangsung,” kata Triyono. Dengan modal sebesar itu, ia berpenghasilan bersih Rp 100 juta.

Tahun 2003, bisnis buah atapnya rugi. ”Di luar perkiraan saya, daya beli pasar merosot jauh. Saya terpaksa membuang atap ke kali. Saya rugi Rp 600 juta. Rumah, mobil, dan tanah terpaksa saya jual untuk membayar utang bank,” ujarnya.

Triyono mengatakan, baru tahun lalu ia mampu menutup semua utangnya dan kembali membeli rumah dan kendaraan operasional. Menurut dia, bisnis seremeh apa pun kini harus didukung modal besar. ”Kalau saya tidak mendapat pinjaman bank, saya tak berani berdagang atap meski cuma musiman.”

Menurut dia, ada seorang pedagang lain yang memelopori usaha atap dari Sipirok ke Pasar Induk Kramatjati. ”Tapi sekarang tinggal saya. Ada beberapa pedagang lain yang mengikuti jejak, tetapi belum skala besar. Bank pemberi pinjaman butuh waktu menumbuhkan kepercayaan kepada mereka,” ujarnya.

Apa kiat bisnis Anda? ”Ulet, bisa dipercaya, dan mau belajar dari kesalahan sehingga proses bisnis semakin aman dan stabil,” katanya. (win)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com