Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta Masih Sulit Benahi Transportasi

Kompas.com - 29/09/2011, 07:55 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Kondisi Jakarta-Bangkok tidak jauh berbeda. Sama-sama negara berkembang yang dipusingkan dengan masalah kemacetan. Namun, Bangkok boleh dibilang sudah lebih maju satu atau dua langkah karena mereka sudah memiliki angkutan umum massal berbasis rel. Lalu, bagaimana dengan masa depan transportasi di Jakarta?

Sebagai kota Metropolitan, Jakarta tentu ingin tampil dengan ciri-ciri kota modern, termasuk di bidang transportasi. Untuk itulah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2004 membangun bus rapid transit (BRT/busway) transjakarta. Dari satu koridor, kini sudah menjadi 10 koridor. Bahkan, rencananya akan dikembangkan menjadi 15 koridor. Dua koridor yang akan dibangun terakhir akan dibuat melayang.

Baru-baru ini, Pemprov DKI juga sudah memutuskan untuk memanfaatkan kegagalan pembangunan monorel menjadi busway layang. Busway layang ini akan melayani penumpang di kawasan bisnis, seperti Senayan, Kuningan, dan Kampung Melayu. Namun, pembangunan busway layang baru akan dilaksanakan setelah masalah ganti rugi dengan pemilik monorel sebelumnya, yakni PT Jakarta Monorel, selesai.

”Kalau masalah itu selesai, kami akan bangun secepatnya. Mungkin 2012 ini sudah bisa dimulai,” kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Udar Pristono.

Selain akan memiliki koridor busway yang semakin banyak, kini sedang dibangun Koridor XI Pulo Gebang-Kampung Melayu, Jakarta juga akan memiliki mass rapid transit (MRT). Saat ini proses pembangunan memasuki tahap tender. Diperkirakan, pembangunan pertama MRT akan dimulai tahun 2012 dan selesai tahun 2016 untuk rute Pondok Labu-Bundaran Hotel Indonesia. Setelah itu akan dilanjutkan hingga ke Kampung Bandan, Jakarta Utara.

PT MRT Jakarta yang membangun MRT tersebut kini juga sudah menyelesaikan studi kelayakan untuk jalur timur-barat, atau Bekasi-Tangerang. Diharapkan, tahun 2029 sebesar 60 persen perjalanan di Jakarta dilayani dengan angkutan umum massal.

Namun, semua ini masih rencana. Busway, yang merupakan kebanggaan Jakarta dan sudah digunakan selama tujuh tahun, hingga kini masih jauh dari sempurna. Bahkan, di beberapa koridor, baik bus maupun sarana busway, sudah banyak yang tidak terawat. Masih banyak keluhan dari penumpang, terutama soal jarak kedatangan bus.

Kondisi ini tentu sangat disayangkan mengingat setiap tahun Pemprov DKI mengucurkan subsidi hampir Rp 300 miliar untuk busway. Pemprov juga ikut membeli armada bus, yang tentu saja harganya ratusan miliar juga. Tahun ini, Pemprov mendatangkan 44 bus gandeng. Jika untuk angkutan yang disubsidi saja kondisinya masih jauh dari sempurna, lalu bagaimana dengan angkutan umum yang tidak disubsidi?

Melupakan

Kondisi angkutan umum di Jakarta, kalau mau jujur, boleh dibilang sangat buruk. Persoalan yang dihadapi dari dulu hingga sekarang tidak beranjak.

Sebuah seminar yang digelar tahun 1975 oleh Universitas Tarumanegara telah membuktikan hal itu. Semua persoalan yang terungkap dalam seminar yang berjudul ”Lalu Lintas dan Angkutan di Jakarta” (Seminar Arsitektur, Fakultas Teknik Arsitektur, Universitas Tarumanegara, 1975) ini sama persis dengan kondisi lalu lintas dan angkutan saat ini. Jadi, selama 36 tahun, Jakarta masih jalan di tempat.

Beragam solusi pun sudah dipikirkan sejak lama, tetapi kerap lupa untuk dijalankan sehingga persoalan tak kunjung teratasi. Boleh jadi, penataan transportasi Jakarta sebenarnya juga perjuangan kita melawan lupa. Lupa terhadap akar permasalahan.

Seminar itu juga mengungkapkan, faktor yang harus diperhatikan dalam pengadaan suatu sarana angkutan umum adalah mengadakan tarif/ongkos yang relatif murah, harus menjamin keamanan penumpang, memberikan servis yang baik untuk menjamin pemakaian yang kontinu, dan memiliki daya angkut dengan kapasitas cukup besar. Selain itu, biaya pemeliharaan juga harus rendah, pemakaian bahan bakar hemat, dan pencitraan kepada masyarakat bahwa naik kendaraan umum itu sama sekali tidak menurunkan prestise/harga diri.

Jika dilihat kenyataan, hal- hal yang telah diusulkan itu sampai sekarang belum terlaksana. Pemikiran tentang perlunya ketetapan rute perjalanan (trayek), kepastian jadwal, kecukupan jumlah kendaraan untuk tiap rute, kejelasan waktu pengecekan (uji KIR) kendaraan yang kontinu, hingga kepastian pengontrolan sudah muncul tahun 1975, tetapi sampai kini pun tak terlaksana dengan baik.

Secara khusus, hal-hal pendukung perbaikan angkutan umum, seperti peningkatan kesehatan mental pengemudi, penambahan pengetahuan lalu lintas, serta pendidikan pengemudi, telah dikemukakan. Akan tetapi, hampir 40 tahun kemudian, sepertinya hal-hal pendukung tersebut belum pernah dilakukan.

Pristono mengakui, saat ini kondisi angkutan umum memang belum baik. Hal itu karena pengusaha angkutan tidak serius mengelola usahanya.

Ke depan, Pristono menyatakan akan memakai sistem tender tujuh tahun untuk setiap trayek.

”Dengan sistem tender, standar pelayanan akan tercapai karena operator terikat kontrak. Jika dia jelek, dia tidak akan mendapat kontrak lagi pada tender berikutnya,” katanya.

Dengan sistem kontrak ini, Pemprov DKI akan mendesak operator memiliki bengkel dan pangkalan sendiri. Bengkel ini yang memastikan mobil dan sopir dalam keadaan prima sebelum keluar dari pangkalan.

”Jadi, keamanan dan kenyamanan penumpang akan terjaga,” kata Pristono.

Umi (56), salah seorang penumpang di Terminal Kalideres, mengaku kecewa karena sering tidak menemukan angkutan umum yang diinginkan. ”Saya milih-milih kalau naik angkot. Sopirnya yang enggak terlalu tua, mobilnya juga yang enggak terlalu jelek,” kata Umi.

Pada praktiknya, keinginan Umi ini jarang terpenuhi. Dia lebih sering mendapat angkot yang sudah tua dengan sopirnya anak muda yang sering ngawur kalau mengemudi.

Penegakan aturan

Ramli, pengusaha angkot yang juga Ketua Unit Kerja Wilayah Koperasi Wahana Kalpika Jakarta Utara, berpendapat, kunci utama mengatasi keruwetan transportasi di Jakarta adalah penegakan aturan.

”Omprengan bukan termasuk pola angkutan DKI. Ojek juga bukan. Karena tidak ada pengaturan, ya, jadinya semrawut. Padahal, ada pola angkutan khusus Ibu Kota, jadi kita harus kembali ke aturan,” kata Ramli.

Selain penertiban omprengan dan ojek, kata Ramli, pemerintah juga harus memberi perlindungan terhadap kapasitas kota untuk menampung mobil angkutan. Dia mencontohkan, selama ini Pemerintah DKI tak lagi mengeluarkan izin. Kebijakan itu dimaksudkan untuk menjaga agar jumlah mobil angkutan di Jakarta tak bertambah.

”Namun, begitu tahu Jakarta sudah tidak memberi izin, pengusaha lalu keluar ke daerah perbatasan, seperti Bogor dan Tangerang, meminta izin dari bupati di sana, tetapi mobil angkutan mereka beroperasi ke Jakarta. Akal bulusnya bukan main,” katanya.

Menurut Ramli, seharusnya hal-hal seperti itu diatur agar Jakarta tidak semakin ruwet. Pembatasan angkutan luar kota agar tidak beroperasi di Jakarta dapat dilakukan dengan membangun terminal perbatasan. Di tempat itulah penumpang dari luar kota diestafetkan ke angkutan yang memiliki izin trayek di Jakarta.

Dosen Kajian Perkotaan Universitas Indonesia, Hendricus Andy, mengatakan, penegakan aturan mutlak diperlukan untuk mengatur transportasi di Jakarta. Namun, akar permasalahan juga harus dicari supaya problem itu teratasi menyeluruh.

Dia mencontohkan, razia berkala bagi omprengan bisa dilakukan, tetapi penyebab terus bertumbuhnya omprengan itu juga harus dicari.

”Omprengan, kan, tumbuh karena pekerja, terutama yang bekerja malam, yang tidak mendapatkan layanan dari angkutan resmi. Belum lagi sifat layanan omprengan yang fleksibel, bisa langsung mengantar ke lokasi yang dituju penumpang,” katanya.

Hendricus menuturkan, susah kalau hanya mengandalkan pemerintah untuk mengatasi problem transportasi di Jakarta. Kota, termasuk warga yang tinggal di dalamnya, harus bisa menata dirinya sendiri.

Pengusaha pemilik gedung atau perusahaan, misalnya, dapat menjalin kerja sama dengan Organda untuk mengangkut karyawannya. Pola seperti ini banyak dilakukan kota-kota lain, seperti Adelaide dan Sydney, di Australia. ”Bus shuttle, kan, mahal. Makanya, perusahaan yang mempekerjakan karyawan bisa bekerja sama dengan Organda dengan mikrolet-mikroletnya,” kata Hendricus.

Warga pun bisa berinisiatif membangun jaringan komunitas antarmereka, misalnya karyawan yang tinggal di kawasan BSD dapat menggunakan layanan antarjemput. Ada solusi untuk setiap masalah. Tinggal mau atau tidak menerapkannya. (IAM/CAS/FRO/NUT/TOK/art/arn)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com