Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prijanto Harus Beberkan Alasan Mundur

Kompas.com - 28/12/2011, 03:44 WIB

Jakarta, Kompas - Sejumlah tokoh meminta Prijanto membeberkan secara terbuka alasan pengunduran dirinya sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Kejelasan alasan pengunduran diri akan bermanfaat sebagai bahan evaluasi kinerja pemerintahan daerah, khususnya DKI Jakarta.

”Saya rasa Prijanto harus terbuka perihal alasan pengunduran dirinya. Ini agar tidak timbul spekulasi dan juga isu-isu politik yang justru membuat kondisi Jakarta tidak kondusif,” kata Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Azas Tigor Nainggolan, Selasa (27/12).

Kemarin, Prijanto menyerahkan surat pengunduran diri kepada DPRD DKI Jakarta. DPRD rencananya menggelar rapat pimpinan sebelum rapat paripurna untuk mendengarkan alasan pengunduran diri Prijanto dan memutuskan akan menerima atau menolak pengajuan itu.

”Kalau permohonan itu disetujui, jabatan wakil gubernur akan kosong sampai pemilu mendatang,” kata Ketua DPRD DKI Jakarta Ferrial Sofyan.

Dia memastikan jabatan wakil gubernur masih penting. ”Kalau tidak penting, jabatan tidak akan dibuat. Tetapi, soal pembagian kewenangan di pemerintah daerah, kami tak mengerti apa yang terjadi di situ,” ucap Ferrial.

Secara terpisah, Prijanto menolak anggapan bahwa jabatan wakil gubernur hanya sebatas ban serep. ”Di organisasi mana pun, ada jabatan wakil dan memiliki peran termasuk membantu pimpinan atau berdiskusi. Setiap jabatan pasti ada fungsinya, kalau tidak, tentu akan di- likuidasi,” kata Prijanto.

Dia mengatakan siap menjelaskan alasannya mundur dari jabatan wakil gubernur dalam sidang di DPRD. Saat ini, dia enggan merinci alasannya.

Akan mengganggu

Tigor menambahkan, di luar masalah politik, ia yakin tanpa didampingi wagub, kinerja pemprov akan terganggu. Apalagi, di awal tahun depan, Jakarta akan menghadapi ancaman rutin potensi banjir pada puncak musim hujan. ”Saya amat menyayangkan juga mundurnya Prijanto di saat terakhir dalam lima tahun masa kerja yang seharusnya diembannya bersama Fauzi Bowo. Terlebih, tahun depan banyak program kerja yang harus ketat dikawal seperti masalah banjir dan juga pembenahan angkutan umum,” kata Tigor.

Tigor juga tidak yakin, alasan kesulitan berkomunikasi menyebabkan Prijanto mundur. Menurut dia, pembagian kerja selama ini sudah dijalankan. Prijanto sebagai wagub, misalnya, dipercaya menangani sengketa lahan dalam proses pembangunan Kanal Timur. Belum lagi masalah kisruh berdarah terkait makam Mbah Priuk di Tanjung Priok, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu, yang ditangani dengan baik oleh Prijanto.

Soal berbagi peran antara gubernur dan wakil gubernur, Tigor mengatakan, seharusnya Prijanto jeli melihat peluang dan mengambil inisiatif sehingga bisa tetap aktif dan turut andil membenahi Jakarta.

”Soal Kampung Pulo yang katanya berkaitan dengan salah satu unsur angkatan bersenjata kita, mengapa Pak Pri tidak maju sebagai mediator? Latar belakang sebagai militer jelas pasti membantu,” kata Tigor.

Prijanto pun bisa menengahi bahkan menelurkan pemecahan untuk kasus penerobosan jalur khusus bus transjakarta oleh oknum militer yang sempat menjadi pembicaraan publik beberapa bulan silam.

Oportunistis

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, mengatakan tidak terkejut dengan kasus pecah kongsi ini. ”Lho, emangnya mereka masih mikirin warganya? Di mana-mana sekarang begitu. Trennya para kepala daerah dan wakilnya begitu,” ujarnya.

Belum habis masa tugasnya, mereka pecah kongsi dan berlomba mengumpulkan dana untuk pilkada berikutnya. Kian hari, usia pecah kongsi semakin pendek.

Semakin pendeknya usia pecah kongsi ini, menurut Siti, menunjukkan semakin hari para kepala daerah dan wakilnya semakin pragmatis dan oportunistis. Mereka cenderung menjadi pedagang yang melakukan kesepakatan-kesepakatan transaksional dengan partai partai politik.

Ia menduga, kasus pecah kongsi antara Fauzi dan Prijanto menandai langkah Partai Demokrat ”mengamankan” Pilkada DKI Jakarta 2012.

”Dulu kan Fauzi menjadi Gubernur DKI karena diusung PDI-P. Sekarang dia menjadi salah satu anggota Dewan Pembina Partai Demokrat. Lalu saya dengar, saat ini Partai Demokrat punya tiga calon untuk maju pada Pilkada DKI 2012, yaitu Fauzi, Mayjen (Purn) Hendarji, dan Mayjen (Purn) DJ Nachrowi. Tidak berapa lama terjadi pecah kongsi,” papar Siti.

Rangkaian peristiwa ini, menurut Siti, mengisyaratkan langkah Partai Demokrat mengamankan Jakarta menghadapi Pilkada DKI Jakarta 2012.

Siti mengecam hubungan buruk yang terjadi antara Fauzi dan Prijanto. ”Bohong kalau hubungan buruk ini tidak memengaruhi pelayanan publik dan menurunkan kinerja birokrasi,” ujarnya.

Siti mendesak DPRD DKI Jakarta dan Menteri Dalam Negeri menuntaskan kasus ini agar tidak dijadikan panggung oleh politisi.

Kurang mendengar

Ahli tata kota dari Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, mengajak publik melihat jernih akar masalah retaknya keharmonisan hubungan mesra Fauzi Bowo dan Prijanto. Sungguh mengecewakan jika ternyata perpecahan tersebut hanya berdasar masalah pribadi dan masalah ideologi politik, bukan tentang pertarungan menjalankan program pembangunan kota.

”Terlepas dari berbagai isu yang ada, mungkin akan menarik jika buku Prijanto soal APBD maupun terkait pengandaian jadi gubernur dilihat sebagai refleksi Jakarta terhadap pemimpinnya. Ini semacam kritik langsung dari dalam kekuasaan,” kata Suryono.

Di luar masalah pengunduran diri Prijanto, fenomena pecahnya kongsi antara pemimpin daerah dan wakilnya merebak di semua kawasan di Indonesia.

Suryono mengatakan, politik lokal kini nyaris tak beda dengan politik nasional. Elite terkesan hanya fokus pada masalah koalisi partai politik. Padahal, secara teori, politik lokal dapat dianggap sebagai jalan alternatif ketika politik nasional yang menekankan peran penting partai politik justru amburadul.

”Politik lokal seharusnya lebih mementingkan masalah keseharian seperti bagaimana menyediakan air bersih, pendidikan, kesehatan murah, serta sistem transportasi publik. Namun, kalau politik lokal juga ikut berantakan, bagaimana masa depan bangsa kita?” kata Suryono.

Suryono mengatakan, kalau membaca sejarah, Gubernur Ali Sadikin dan Wali Kota Solo Joko Widodo dianggap berhasil karena lebih fokus menyelesaikan masalah keseharian. Artinya, mereka bukan bicara yang muluk-muluk.

Khusus terkait kinerja Gubernur DKI Jakarta, Suryono menambahkan, sebuah kritik terhadap Fauzi Bowo terkait pengunduran Prijanto, yakni Fauzi kurang mendengar pendapat pihak lain.

”Ingat pada saat ribut-ribut Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, Fauzi tidak pernah mau berbicara langsung dengan koalisi warga secara keseluruhan,” kata Suryono. (ART/NEL/WIN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com