Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Koruptor Dibiarkan?

Kompas.com - 04/01/2012, 03:06 WIB

M Burhanudin

Gemuruh sorak sorai di jiwaku//Seakan penonton yang menyadarkanku// Merah membara, tak terpadamkan//Bagai banteng jantan yang terluka// Menahan sakit, menanggung beban yg kelam....

Lagu punk berjudul ”Film Murahan” menggema di sebuah tanah lapang di kaki Gunung Seulawah, Selasa (20/12) siang. Namun, ciri-ciri dan suasana yang lazim melekat pada anak-anak punk sama sekali tidak tampak. Inilah kisah ketika karakter dan ekspresi diri anak-anak itu dilucuti.

Tak ada iringan riff gitar yang meraung atau ketukan drum memburu yang lazim menyertai musik punk. Juga tak ada potongan rambut mohawk, jaket kulit lusuh pada diri, ataupun spike gear, yang menempel di badan 64 muda-mudi yang bernyanyi itu.

Anak-anak punk (punkers) yang sebagian besar asal Aceh itu baru saja mengikuti kegiatan upacara apel pasukan di lapangan Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar. Siang itu pula, tepat sepekan mereka berstatus remaja binaan di sekolah calon polisi bintara itu.

Mereka adalah komunitas punk yang ditangkap aparat Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Banda Aceh saat menggelar konser amal punk di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, 12 Desember silam. Dari 64 punkers itu, 5 di antaranya perempuan. Mereka berusia 15- 30 tahun. Sebagian besar berasal dari Aceh, sebagian lainnya datang dari Medan, Cirebon, Jakarta, dan Palembang.

Atas tuduhan ulah mereka bertentangan dengan syariah Islam dan dianggap mengganggu ketertiban, mereka ditangkap oleh aparat Pemerintah Kota Banda Aceh. Mereka lalu diserahkan ke Kepolisian Kota Besar Banda Aceh.

Sontak reaksi beragam muncul. Wakil Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa`aduddin dengan tegas mengatakan, konser anak punk menyimpang dari ajaran syariat Islam dan mereka sudah menyalahi izin yang diberikan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). ”Komunitas anak punk tidak bisa dibiarkan berkembang di bumi Aceh. Kelompok ini juga menyimpang dari ajaran Islam,” ujar Illiza.

Kepala Kepolisian Kota Besar Banda Aceh Armensyah Thay pun tak kalah kerasnya. Selama keberadaan anak punk dianggap bertentangan dengan syariah Islam yang berlaku di Aceh, kepolisian tetap akan merazia keberadaan mereka.

Laporan-laporan dari masyarakat tentang gangguan ketertiban hingga tindak pidana yang melibatkan anak punk di Aceh sudah beberapa kali masuk. Hal itu pula, menurut Armen, yang menjadi dasar penertiban terhadap anak punk tersebut.

Reaksi sebaliknya datang dari pegiat sosial dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Penangkapan anak punk dinilai cacat hukum dan dianggap over-reaktif, serta melanggar hak asasi manusia (HAM).

”Atas dasar apa mereka ditahan dan dibina dengan cara-cara militer? Kenapa tidak di panti sosial atau lembaga lain saja?” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, Hendra Fadli.

Hendra menyebutkan, jika memang dalam konser tersebut terdapat beberapa anak punk yang melanggar hukum, maka hanya beberapa saja yang ditahan. Pembinaan dengan dalih syariat sama sekali tak mendasar.

Karakter terbunuh

Yudi (28), salah satu koordinator komunitas punk di Banda Aceh yang ikut dibawa ke SPN Seulawah, menuturkan, anak punk tak mempermasalahkan pembinaan disiplin oleh aparat kepolisian di SPN Seulawah. Namun, yang menjadi pertanyaan di benak komunitas punk tersebut adalah alasan penangkapan dan pembubaran secara sewenang-wenang acara konser amal di Blang Padang itu.

”Apa salah kami sehingga harus dirazia seperti ini? Waktu konser itu digelar, kami sudah mengantongi izin dari aparat keamanan. Ada apa sebenarnya?” ujar Yudi (29), punker asal Takengon, Aceh Tengah, yang turut ditangkap.

Yudi juga mempertanyakan alasan melanggar syariah, ketertiban masyarakat, dan tindak pidana yang dialamatkan kepada mereka. Komunitas punk bukan pelaku kriminal. Mereka juga bukan gelandangan jalanan yang menghabiskan waktunya di jalanan.

Sehari-harinya mereka bekerja seperti lazimnya anak-anak lain. Ada yang menjadi tukang sablon, menjual aksesori, kuliah, sekolah, dan aktivitas lain seperti warga kebanyakan.

Di Aceh, khususnya Banda Aceh, memang ada komunitas anak muda yang bergaya dan berdandan seperti layaknya anak punk. Ada di antara mereka yang melakukan tindak pidana, seperti melarikan anak gadis orang, mencuri motor, dan mencuri ayam. Punk pun menjadi sekadar gaya-gayaan.

”Punk-punk yang kriminal itulah yang membunuh karakter punk yang sesungguhnya seperti kami ini,” ungkap Ryan, anggota komunitas punk lainnya.

Andi (22), punker asal Jalan Aksara, Medan, yang ikut tertangkap di Banda Aceh, menuturkan, cara berpakaian anak punk hanyalah sekadar ekspresi. Tidak setiap hari gaya berdandan dengan rambut mohawk, celana ketat robek, jaket kulit lusuh, body piercing, dan rantai monel mereka pakai. Mereka juga tak setiap saat hidup di jalan.

”Kami punya rumah. Punya keluarga. Kami juga shalat. Tapi, kenapa hanya karena gaya berdandan seperti ini kami dianggap kriminal dan melanggar hukum? Lihat, para koruptor berpakaian rapi, wangi, dan makan uang rakyat, tapi malah dibiarkan merajalela. Tangkaplah koruptor, bukan punker” katanya.

Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Dr Saleh Sjafei, mengatakan, secara sosiologis adalah wajar tumbuh potensi dan ekspresi tertentu dalam masyarakat seperti halnya komunitas punk di Aceh ini. Seiring globalisasi dan modernitas, fenomena gerakan punk tak mungkin dibendung.

”Tumbuhnya potensi seperti ini harus dihargai selama positif. Karena itu, tugas pemerintah semestinya mengarahkan potensi-potensi itu, bukan membenturkannya dengan syariah lalu menangkap mereka,” katanya.

Pandangan bahwa komunitas punk melanggar syariah adalah pandangan yang terlalu menyempitkan ajaran Islam. Islam sangat menghargai hak asasi manusia (HAM) dan bukan membelenggu. ”Jika begini justru kita sendiri yang rugi. Dunia internasional menyorot kita sebagai pelanggar HAM,” katanya.

Anak punk semestinya dilihat sebagaimana remaja-remaja yang lain. Di balik kemuraman, kostum dekil, dan kekumuhan mereka di sudut kota, mereka adalah manusia berhati. Hargai mereka dengan hati, bukan obyek hukum sempit yang nir keadilan. Kasih sayang yang mereka butuhkan, bukan kesewenangan. Ya, seperti lagu mereka:

”Aku pulang Mama//Sembuhlah cederamu//Kurindu semeja//Nikmati teh bersamamu....”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com