Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Honorer Membengkak

Kompas.com - 06/03/2012, 01:40 WIB

Jakarta, Kompas - Sejumlah pemerintah daerah diduga merekayasa jumlah guru honorer. Mereka memanfaatkan kesepakatan pemerintah dan DPR agar guru honorer yang bertugas sebelum 1 Januari 2005 diangkat sebagai pegawai negeri sipil.

Modus yang banyak dilakukan adalah mengubah surat keputusan penugasan sebagai guru honorer, seolah-olah sebelum 1 Januari 2005, sehingga terbuka peluang menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Akibatnya, jumlah guru honorer yang diusulkan untuk menjadi PNS membengkak.

Sebelumnya diperkirakan, jumlah guru honorer golongan I, yakni yang diangkat sebelum 1 Januari 2005 dan mendapat honor dari APBN atau APBD, sekitar 54.000 guru. Namun, saat dilakukan verifikasi pada 31 Januari 2011, jumlah tenaga honorer yang diajukan pemerintah daerah lebih dari 150.000 orang. ”Jumlahnya membengkak tiga kali lipat,” kata Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo, Senin (5/3), di Jakarta.

Syawal Gultom, Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengatakan, membengkaknya jumlah guru honorer karena sekolah juga leluasa mengangkat guru honorer dengan alasan kekurangan guru. ”Padahal, kekurangan guru tersebut bisa juga karena distribusinya di daerah tidak merata,” kata Syawal.

Akibat sekolah leluasa mengangkat guru, menurut Syawal, jumlah guru honorer, guru bantu, dan guru tidak tetap yang mengajar di SD, SMP, dan SMA/SMK mencapai 904.378 orang. Selain jumlahnya melimpah, kualitasnya pun tidak memadai.

Di sekolah dasar, misalnya, hanya 363.801 guru atau 24,4 persen yang berpendidikan sarjana. Sebagian besar, yakni 750.167 guru atau 50,4 persen masih berpendidikan setara dengan diploma II, bahkan 311.871 guru SD atau 20,9 persen masih berpendidikan SLTA. Di jenjang SMP dan SMA, jumlah guru yang sarjana relatif lebih banyak.

”Hingga saat ini tidak ada standar dalam pengangkatan guru honorer. Kenyataannya, asal sekolah membutuhkan, langsung diangkat. Kepentingan politik atau elite lokal juga bisa memasukkan guru honorer,” kata Syawal.

Tetapkan standar

Ketua Umum Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia Ani Agustina mengatakan, meski sebagian besar guru honorer diangkat oleh sekolah, dinas pendidikan mengetahuinya. Bahkan, banyak pula guru honorer yang sudah mendapat pendidikan dan pelatihan dari dinas pendidikan.

”Karena itu, pemerintah tidak bisa lepas tangan. Kesejahteraan guru honorer harus diperhatikan,” kata Ani Agustina.

Setidaknya, para guru honorer yang sudah terdata di badan kepegawaian daerah sudah memenuhi berbagai persyaratan segera diangkat sebagai PNS.

Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), juga tidak sependapat jika membengkaknya jumlah guru honorer ditimpakan pada sekolah. Menurut dia, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sekolah membutuhkan guru-guru berkemampuan khusus, seperti guru agama, bahasa Inggris, olahraga, kesenian, dan muatan lokal. Karena permintaan ke dinas pendidikan tidak kunjung digubris, sedangkan layanan pendidikan tidak bisa berhenti, sekolah akhirnya mengangkat guru honorer atau guru tidak tetap.

”Pemerintah harus tegas. Kalau memang tidak lagi menginginkan adanya guru honorer, harus dibuat aturan dan pelaksanaannya diawasi. Konsekuensinya, pemerintah harus menjamin dalam penyediaan guru-guru yang dibutuhkan sekolah,” kata Sulistiyo.

Eko mengatakan, saat sekolah mengangkat guru bantu atau guru honorer, standar kompetensi sering kali diabaikan. Akibatnya, banyak guru honorer yang tidak sesuai dengan standar.

Didik J Rachbini, Ketua Umum Yayasan Paramadina, mengatakan, kalaupun sekolah diberi kewenangan mengangkat guru honorer, pemerintah harus menetapkan standar guru yang diinginkan dan mengawasi pelaksanaannya secara ketat. Setelah lolos standar, pemerintah juga harus terus-menerus memberikan pendidikan dan pelatihan kepada guru agar kualitas pendidikan semakin baik.

”Guru jangan dijadikan alat kepentingan politik jangka pendek karena akan merugikan bangsa dalam jangka panjang,” kata Didik.

Kenyataannya saat ini, pemerintah belum membuat standar kualitas guru honorer. Di sisi lain, pemerintah daerah dengan gampangnya sengaja mengangkat guru honorer. ”Padahal, langkah ini akan merugikan daerah sendiri,” kata Didik.

Guru honorer dihapus

Syawal mengatakan, ke depan, pemerintah akan meniadakan guru honorer, terutama di sekolah negeri.

Eko mengatakan, guru honorer kategori II, yakni yang diangkat setelah 1 Januari 2005 dan honornya bukan bersumber dari APBN/APBD, adalah 642.780 orang. Untuk kelompok ini, pengangkatan sebagai PNS hanya dilakukan untuk paling banyak 30 persen dari 642.780.

”Selain itu, semua harus mengikuti seleksi antartenaga honorer, harus melampaui nilai batas ujian, dan mau ditempatkan di mana saja,” kata Eko.

Seleksi ini dilakukan dengan cara tes penilaian secara digital (computer assistant test). Adapun masalah kompetensi sebagai tenaga pendidik diserahkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Cara pengangkatan tenaga honorer seperti ini, diakui Eko, bertentangan dengan agenda reformasi birokrasi. Semestinya analisis jabatan, analisis beban kerja, dan analisis kebutuhan dihitung dan dijadikan dasar kebijakan yang diambil. Namun, karena sudah menjadi keputusan politik, kebijakan ini tetap harus dilaksanakan.

Untuk jangka pendek, pemerintah akan merampungkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengangkatan Tenaga Honorer yang saat ini masih dibahas antar-kementerian.

(ELN/INA/IRE/RUL/WSI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com