Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PDI-P: Antara Jokowi dan Nono Sampono

Kompas.com - 07/03/2012, 06:57 WIB
Imanuel More

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)  mengadakan uji kelayakan dan kepatutan kepada sejumlah tokoh yang akan diusung partai tersebut sebagai kandidat gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017.

Lima orang tokoh diundang ke kantor DPP PDI-P, di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (6/3/2012), guna mengikuti seleksi. Mereka adalah Wali Kota Solo Joko Widodo, Nono Sampono (purnawirawan jenderal bintang tiga, Boy Sadikin (putra mantan Gubernur DKI almarhum Ali Sadikin), Prijanto (pejabat nonaktif Wakil Gubernur DKI), Wakil Wali Kota Surabaya Bambang DH.

Tiga nama terakhir telah menyatakan pengunduran diri secara resmi dari seleksi calon yang diadakan partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu. Dengan demikian, pertarungan saat ini mengerucut pada dua nama, Joko Widodo atau Jokowi dan Nono Sampono. Keduanya tentu memiliki plus-minus yang harus diperhitungkan PDI-P selaku partai pengusung.

Kader partai

Jokowi dipandang pemimpin daerah yang punya nilai lebih. Meskipun, ia hanya berstatus wali kota, namanya telah dikenal di seluruh Indonesia berkat prestasinya. Ia bisa disebut pemimpin daerah tingkat dua paling populer  di Indonesia. Saking populernya, sejumlah kalangan bahkan menilai Jokowi lebih dikenal orang dibandingkan nama sejumlah menteri di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.

Jokowi juga dikenal sebagai pemimpin yang populis. Ia mampu menyelesaikan berbagai masalah kerakyatan tanpa kekerasan dan tindak represif. Rekam jejaknya bersih.

Tak heran bila sederet penghargaan pernah diterima lelaki kelahiran Surabaya, 21 Juni 1961 itu. Penghargaan negara berupa Bintang Jasa Utama didapatnya jelang peringatan HUT Kemerdekaan RI tahun lalu. Setahun sebelumnya, ia meraih Bung Hatta Anticorruption Award berkat  keberhasilannya menjalankan pemerintahan yang bersih. Dan, pekan lalu, ia bersama Menneg BUMN Dahlan Iskan dianugerahi Charta Politica Award.

Kelebihan Jokowi lainnya yaitu ia adalah kader PDI-P.

Ketua Panitia Seleksi Cagub PDI-P, Djarot S Hidayat, menyebut Jokowi tidak mendaftarkan diri. Ia 'diperintahkan' DPP untuk mengikuti seleksi lantaran dipandang sebagai salah satu kader yang berprestasi. "Kami memiliki kewajiban untuk mempromosikan kader berprestasi untuk mengemban jabatan yang lebih tinggi," kata Djarot saat konferensi pers di Kantor DPP PDI-P seusai seleksi.

Namun, apakah dengan sejumlah kelebihan itu mantan eksportir mebel ini lantas dengan mudah memenangi persaingan menuju calon DKI-1 dari partai banteng moncong putih?

Jokowi sendiri tidak begitu yakin saat memberikan pernyataan kepada pers seusai menjalankan seleksi. "Saya dalam posisi diundang. Kalau saya dipersilakan ya monggo. Kalau tidak, ya silakan," kata Jokowi. Ia menyadari sepenuhnya, sebagai kader ia harus mengikuti amanat para petinggi PDI-P yang hingga kini masih sulit dibaca.

Sebagian orang menilai Jokowi masih berlevel pemimpin tingkat lokal yang belum mempunyai kualifikasi memimpin wilayah sekelas Ibu Kota negara. "Lebih baik dia fokus dulu di Solo. Belum waktunya dia memimpin Jakarta yang memiliki masalah yang lebih kompleks dari Solo," kata salah seorang tokoh PDI-P.

Kemampuan Jokowi untuk meraih dukungan politik di level Jakarta juga masih perlu didongkrak. Pasalnya, PDI-P tidak memiliki hak untuk mencalonkan pasangan calon sendiri. Dengan hanya memiliki 11 kursi di DPRD DKI Jakarta, PDI-P harus berkoalisi dengan partai lain untuk bisa mengusung calonnya. Pada sisi ini, Jokowi bisa dibilang hanya mengandalkan komunikasi yang dilakukan oleh partainya.

Meski demikian, ini bisa membawa keuntungan tersendiri bagi PDI-P bila Jokowi diusung. Sebab, bila terpilih sebagai DKI-1, Jokowi sebagai kader bisa memberikan peluang besar bagi PDI-P untuk meraup basis dukungan di Ibu Kota yang sekaligus menjadi barometer politik nasional pada Pemilu 2014.

Membangun koalisi

Di sisi lain, peluang Nono Sampono pun tidak kalah dibandingkan Jokowi. Purnawirawan jenderal bintang tiga dari korps marinir itu memiliki keunggulan secara politik.

Pria berusia 59 tahun ini telah lama bergerilya, baik di lingkup politik (parpol) maupun pada berbagai level sosial-kemasyarakatan. Alhasil, basis dukungan di Jakarta telah dibangunnya. Dengan demikian, parpol pengusung, termasuk PDI-P akan sangat terbantu dalam meloloskan jagonya.

Apalagi, bekas Kepala Badan SAR Nasional ini juga disebut-sebut telah mengantongi restu dari Partai Gerindra yang memiliki enam kursi di DPRD DKI. Bila terjadi koalisi antara PDI-P dan Gerindra, keduanya dipastikan memiliki hak untuk mengusung pasangan calon sendiri.

"Gerindra (memiliki) enam kursi, PDI-P 11 kursi (di DPRD DKI). Sudah cukup kan," kata Nono seusai mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di kantor DPP PDI-P sore tadi.

Koalisi itu bukan tidak mungkin tercapai. Sejarah telah menunjukkan kedekatan hubungan kedua partai saat mengusung pasangan calon Megawati-Prabowo dalam Pilpres 2008. Nano sendiri menyatakan siap membantu terjadi koalisi antara kedua partai demi mendukungnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Tjahjo Kumolo mengindikasikan telah terjadinya komunikasi politik yang intens antara PDI-P dengan sejumlah partai, termasuk Gerindra. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya koalisi PDI-P dan Gerindra sangat terbuka.

Nono juga memiliki keunggulan lain. Ia mengaku dekat dengan Megawati lantaran pernah bertugas sebagai Komandan Paspampres saat Mega duduk sebagai Presiden RI. "Saya dekat dengan Ibu Mega karena pernah ngawal Ibu," kata Nono. Dia juga diperkirakan tidak akan mendapat kesulitan mendekati Gerindra yang dipimpin seorang mantan jenderal TNI bintang tiga.

Meski demikian, nama Nono Sampono tidaklah sepopuler Jokowi. Partai pengusung bisa saja keteteran mendongkrak nama Nono bila dihadap-hadapkan dengan nama besar 'incumbent' Fauzi Bowo yang jauh lebih populer.

Selain itu, di luar karier kemiliteran, Nono belum memiliki rekam jejak yang kuat di bidang birokrasi. Walaupun peran gubernur lebih ke arah fungsi manajerial, pengalaman menangani birokrasi pemerintahan bisa menjadi nilai minus Nono.

Lantas, siapakah di antara dua nama ini yang bakal diusung PDI-P?

Ketua Pansel Djarot Hidayat mengaku tidak memberikan prioritas pada salah satu nama. Itu artinya status kader-nonkader tidak menjadikan calon yang satu lebih unggul dibandingkan yang lain. Ia berjanji akan memutuskan sesuai mekanisme yang telah disepakati.

Menurut Tjahjo Kumolo, selain suara akar rumput, hasil verifikasi serta uji kelayakan dan kepatutan, pilihan akan ditentukan berdasarkan hasil survei dari tiga lembaga yang menjadi rujukan PDI-P.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com