Namun, biaya itu belum memperhitungkan kerugian sosial dan degradasi lingkungan yang bakal terjadi. ”Konstruksi layang secara visual merusak wajah kota. Kota jadi makin padat, tidak nyaman dihuni, kualitas udara turun. Harga tanah dan properti di sekitar jalan layang juga bakal turun,” kata arsitek lanskap Nirwono Joga, Rabu (7/3).
Kondisi seperti yang digambarkan Nirwono kini tengah berlangsung di sepanjang Jalan Antasari, Jakarta Selatan. Jalan layang di kawasan itu belum 100 persen jadi, tetapi di beberapa titik terlihat dua ruas jalan sekitar 8 meter di atas tanah sama lebar dengan jalan di bawahnya.
Pengendara kendaraan bermotor yang melintas di bawah jalan layang mungkin bakal terhindar dari panas atau hujan. Akan tetapi, penghuni bangunan di kanan-kiri jalan jelas terganggu karena bahkan di tingkat dua pun mereka berhadapan dengan aspal dan pelbagai kendaraan yang melaluinya. Pohon-pohon hijau tinggi yang dulu menghiasi kawasan itu juga terberangus.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pelaksana proyek jalan layang menegaskan, setiap satu pohon yang ditebang diganti dengan 10 pohon baru. Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Ery Basworo mengatakan, penanaman pohon pengganti sudah dilakukan di sisi Kali Mookevaart dan Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, serta di Penjaringan, Jakarta Utara.
Bekerja sama dengan dinas pertamanan, penanaman pohon pengganti akan dilakukan di beberapa lokasi lain, seperti bantaran Kanal Banjir Barat. Dinas PU menjamin di kawasan Jalan Antasari pun akan segera ditanam jalur hijau setelah semua tiang jembatan selesai dibangun
Sebelumnya, salah seorang perwakilan warga Antasari, Cahyo Tamtomo Andoko, menyerukan, mungkin baru dua-tiga tahun lagi pohon yang ditanam ulang tumbuh seperti kondisi awal. Warga akan menerima beban polusi udara dan suara akibat bertambahnya volume kendaraan yang melintas tanpa ada bantuan pohon yang bisa mendaur ulang polusi. Ciri khas kawasan Antasari, yang sesuai rencana tata ruang merupakan kawasan permukiman hijau, juga dipastikan bakal hilang.
Bagaimana dengan Jalan Fatmawati? Masyarakat Peduli MRT, kelompok warga penghuni dan pemilik tempat usaha di jalan tersebut, meminta Pemprov DKI Jakarta mengkaji ulang program pembangunan mass rapid transit (MRT) layang. Data warga penentang MRT layang yang dipaparkan Sekretaris Umum Masyarakat Peduli MRT Cecep memperlihatkan, di sepanjang Jalan Fatmawati saja ada sekitar 2.000 tempat usaha.