Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MRT, Hitung Biaya Sosialnya

Kompas.com - 08/03/2012, 03:20 WIB

Jakarta, Kompas - Proyek mass rapid transit tahap pertama Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia senilai Rp 17 triliun yang melewati Jalan Fatmawati di Jakarta Selatan dan direncanakan dibangun di atas tanah atau layang di atas kertas mungkin lebih murah daripada di bawah tanah.

Namun, biaya itu belum memperhitungkan kerugian sosial dan degradasi lingkungan yang bakal terjadi. ”Konstruksi layang secara visual merusak wajah kota. Kota jadi makin padat, tidak nyaman dihuni, kualitas udara turun. Harga tanah dan properti di sekitar jalan layang juga bakal turun,” kata arsitek lanskap Nirwono Joga, Rabu (7/3).

Kondisi seperti yang digambarkan Nirwono kini tengah berlangsung di sepanjang Jalan Antasari, Jakarta Selatan. Jalan layang di kawasan itu belum 100 persen jadi, tetapi di beberapa titik terlihat dua ruas jalan sekitar 8 meter di atas tanah sama lebar dengan jalan di bawahnya.

Pengendara kendaraan bermotor yang melintas di bawah jalan layang mungkin bakal terhindar dari panas atau hujan. Akan tetapi, penghuni bangunan di kanan-kiri jalan jelas terganggu karena bahkan di tingkat dua pun mereka berhadapan dengan aspal dan pelbagai kendaraan yang melaluinya. Pohon-pohon hijau tinggi yang dulu menghiasi kawasan itu juga terberangus.

Pohon diganti

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pelaksana proyek jalan layang menegaskan, setiap satu pohon yang ditebang diganti dengan 10 pohon baru. Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Ery Basworo mengatakan, penanaman pohon pengganti sudah dilakukan di sisi Kali Mookevaart dan Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, serta di Penjaringan, Jakarta Utara.

Bekerja sama dengan dinas pertamanan, penanaman pohon pengganti akan dilakukan di beberapa lokasi lain, seperti bantaran Kanal Banjir Barat. Dinas PU menjamin di kawasan Jalan Antasari pun akan segera ditanam jalur hijau setelah semua tiang jembatan selesai dibangun

Sebelumnya, salah seorang perwakilan warga Antasari, Cahyo Tamtomo Andoko, menyerukan, mungkin baru dua-tiga tahun lagi pohon yang ditanam ulang tumbuh seperti kondisi awal. Warga akan menerima beban polusi udara dan suara akibat bertambahnya volume kendaraan yang melintas tanpa ada bantuan pohon yang bisa mendaur ulang polusi. Ciri khas kawasan Antasari, yang sesuai rencana tata ruang merupakan kawasan permukiman hijau, juga dipastikan bakal hilang.

Bagaimana dengan Jalan Fatmawati? Masyarakat Peduli MRT, kelompok warga penghuni dan pemilik tempat usaha di jalan tersebut, meminta Pemprov DKI Jakarta mengkaji ulang program pembangunan mass rapid transit (MRT) layang. Data warga penentang MRT layang yang dipaparkan Sekretaris Umum Masyarakat Peduli MRT Cecep memperlihatkan, di sepanjang Jalan Fatmawati saja ada sekitar 2.000 tempat usaha.

Kekhawatiran warga

Selama pembangunan MRT yang direncanakan berlangsung mulai tahun 2012 hingga lima tahun ke depan, warga khawatir ada gangguan pada usahanya. Cecep yakin total kerugian ekonomi warga yang juga berimbas ke kota Jakarta dan negara bisa lebih dari Rp 40 triliun.

Menurut dia, estetika kota juga akan terganggu ketika sebuah jalan sempit yang saat ini sudah menjadi langganan macet tiba-tiba ditambah dengan tiang-tiang penyangga rel layang MRT.

Dia juga menyayangkan sikap pemerintah yang sejak November 2009 hingga awal 2012 ini hanya beberapa kali melakukan sosialisasi terkait proyek MRT. Sosialisasi pun lebih mirip pemberitahuan, bukan dialog terbuka antara pemerintah dan warga.

Nirwono menanggapi, di kota-kota besar yang telah maju dan mapan, konstruksi jalan layang atau MRT layang di dalam kota dihindari.

”Lihat saja Singapura, Melbourne, atau Sydney. Kota-kota itu lebih memilih subway yang artinya benar-benar di bawah tanah,” kata Nirwono.

Di sisi lain, dia juga meminta Pemprov DKI mengubah sistem sosialisasi program kerjanya. Di masa modern yang serba terbuka dan banyak perangkat teknologi untuk bersosialisasi ini, pemerintah masih sekadar mengumpulkan orang dua-tiga kali.

Pertemuan itu lalu disebut sebagai rapat sosialisasi, kemudian masalah sosialisasi dianggap selesai. Padahal, sosialisasi boleh menjadi ajang debat antarpihak terkait, termasuk dengan warga yang terkena proyek.

Sosialisasi bisa dengan pertemuan fisik ataupun lewat dunia maya. ”Pendekatan kepada warga bisa berkali-kali dan akhirnya baru dicapai kata sepakat,” katanya.

Sebagai contoh, ujar Nirwono, Wali Kota Solo Joko Widodo harus mendekati warga dan pedagang pasar klithikan (barang bekas) di tengah Kota Solo lebih dari 30 kali pertemuan sebelum diperoleh kata sepakat di antara mereka. Dari kesepakatan itu, pedagang pasar klithikan sukarela dipindah ke tempat yang baru dengan segala fasilitas yang memudahkan mereka.

Tidak mengubah

Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta memastikan tidak akan mengubah desain konstruksi pembangunan MRT Jakarta. Hal itu dilakukan karena desain konstruksi MRT sudah melalui rangkaian studi yang komprehensif, dengan melibatkan pakar dari dalam dan luar negeri. Desain tersebut juga telah disetujui Japan International Cooperation Agency sebagai pemberi pinjaman.

Menurut Cucu A Kurnia, Kepala Bidang Informasi Publik Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, pemilihan tipe layang di jalur Lebak Bulus-Sisingamangaraja memperhitungkan dampak lalu lintas selama periode konstruksi. Dampaknya akan lebih besar jika rel dibangun di bawah tanah.

Direktur Utama PT MRT Jakarta Tribudi Rahardjo, beberapa waktu lalu, menyatakan, desain MRT yang sudah dibuat sekarang ini merupakan desain terbaik dari berbagai aspek yang dikaji dan lebih hemat biaya. (nel)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com