Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Sampah Menjadi Listrik

Kompas.com - 22/03/2012, 05:20 WIB

Komitmen rendah

Pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan sampah ini bisa dikembangkan di setiap kota besar. Penutupan tempat pembuangan sampah terbuka telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Saat ini, hampir semua kota dan kabupaten di Indonesia menggunakan tempat pembuangan sampah terbuka. Namun, sejauh ini belum ada langkah dan program nyata yang dilaksanakan pemerintah daerah.

Padahal, menurut data Kementerian ESDM, secara nasional biomassa berpotensi menghasilkan listrik 49.810 MW, termasuk dari sampah kota. Saat ini, kapasitas terpasang untuk biomassa baru sebanyak 445 MW atau 0,89 persen dari total potensi tenaga listrik energi ramah lingkungan itu. Khusus untuk biogas dari sampah, dari 38 kota dan kabupaten di Indonesia, potensi listrik diperkirakan mencapai 236 MW.

Wakil Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Djoko Winarno memaparkan, kendala utama rendahnya pemanfaatan sampah organik untuk tenaga listrik adalah tingginya biaya investasi untuk mengumpulkan sampah, memilah antara sampah organik dan non-organik, mengolah sampah organik menjadi biogas, serta membangun pembangkit listrik tenaga sampah.

Rendahnya harga jual listrik dari pembangkit listrik tenaga sampah mengakibatkan biaya investasi sulit kembali, terutama jika memakai teknologi gasifikasi. Harga keekonomian listrik dari sampah itu di atas Rp 1.000 per kWh, sedangkan saat ini harganya baru Rp 820 per kWh. ”Jika harga jual listrik terlalu rendah, investor akan enggan berinvestasi dalam bisnis pengolahan sampah,” ujarnya.

Apalagi, pengolahan sampah untuk tenaga listrik itu berisiko tinggi, menimbulkan konflik sosial dengan warga sekitar yang terganggu oleh hilir mudiknya truk pengangkut sampah dan aroma busuk sampah. Para pemulung juga merasa terancam sumber nafkahnya dengan adanya kegiatan pengolahan sampah.

Selain itu, sebagian besar pemerintah daerah juga tidak mengalokasikan dana pengelolaan sampah yang memadai. Agar sampah bisa dikelola dengan baik, idealnya biaya pengelolaan sampah di atas Rp 200.000 per ton. Kenyataannya, sebagian daerah hanya berani mengalokasikan dana Rp 30.000 sampai Rp 40.000 per ton, bahkan banyak daerah tidak mengalokasikan biaya pengelolaan sampah.

Sejauh ini, baru Pemprov DKI Jakarta yang mengalokasikan dana Rp 103.000 per ton untuk pengelolaan sampah, dan 20 persen di antaranya masuk ke kas Pemerintah Kota Bekasi sebagai kompensasi pemakaian lahan di Bekasi untuk TPA. Adapun volume sampah di Jakarta sekitar 6.000 ton per hari. ”Untuk mengembalikan modal, kami memproduksi kompos dan pihak Navigat memproduksi biogas untuk tenaga listrik,” kata Wakil Direktur PT Godang Tua Jaya, Linggom Lumban Toruan.

Direktur Eksekutif Lembaga Reformasi Pelayanan Dasar Fabby Tumiwa menambahkan, pemanfaatan listrik dari sampah juga terkendala buruknya sistem pengumpulan sampah di banyak kota. Berdasarkan survei yang dilakukan lembaganya, jumlah sampah yang diproduksi dan dibawa ke TPA di beberapa kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah hanya 15 persen dari total volume sampah. ”Banyak sampah rumah tangga yang dibuang sembarangan atau dibakar,” ujarnya.

”Kondisi sebagian besar TPA tidak memenuhi standar penerapan teknologi pengolahan sampah. Volume sampah yang dibuang juga melebihi kapasitas TPA dan bercampur antara sampah organik dan non-organik,” ujarnya. Jadi, kalau ada pelaku usaha yang hendak berinvestasi dalam bidang pengolahan sampah, dia harus menambah biaya untuk menata ulang TPA.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com