JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menentang pelibatan TNI dalam mengamankan aksi unjuk rasa anarkistis menentang rencana kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Menurut Jimly, biarlah Polri yang menangani para peserta unjuk rasa yang anarkistis.
"TNI adalah alat negara, bukan alat pemerintah, sedangkan urusan BBM adalah urusan politik pemerintahan. TNI tidak boleh melibatkan diri. Perintah Presiden hanya untuk perang dan gerakan bersenjata. Bahkan, perang melawan teroris saja pun sekarang cukup ditangani polisi," kata Jimly kepada Kompas.com, di Jakarta, Selasa (27/3/2012).
Terkait pengamanan Istana Kepresidenan, yang termasuk obyek vital, mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini berpendapat, hal tersebut cukup dilakukan oleh anggota Pasukan Pengamanan Presiden. Jimly mengingatkan, TNI dibentuk bukan untuk menghadapi rakyat sendiri.
Ia berharap TNI tidak lupa terhadap semangat reformasi TNI yang tecermin dalam roh UUD 1945 dan UU tentang Polri. "Panglima TNI lebih bijaksana apabila bisa mengeluarkan perintah agar semua pasukan kembali ke barak dan menghindari polemik politik di sekitar kenaikan harga BBM," tutur Jimly.
Sebelumnya, Indonesia Police Watch (IPW) mengaku khawatir jika TNI terlibat aktif dalam mengatasi aksi demo mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM bersubsidi.
"Ada tiga kekhawatiran kami jika TNI aktif, yakni pertama akan memicu provokasi mahasiswa untuk berbuat anarki," kata Ketua Presidium IPW Neta S Pane.
Kedua, lanjut Neta, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab akan memanfaatkan situasi itu untuk membuat benturan segitiga, antara demonstran, Polri, dan TNI. Kekhawatiran yang ketiga, TNI dipakai sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan menzalimi rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.