Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hujan dan Panas, Demi Anak Saya Rela

Kompas.com - 01/05/2012, 09:55 WIB
Maria Natalia

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - "Hujan dan panas ini sudah biasa. Kalau ini semua demi perut anak istri, saya rela tidak pulang ke rumah."

Ungkapan ini meluncur dari bibir dari Kris Sula (42) seorang buruh di sebuah proyek jalan tol di Jakarta. Hujan turun dengan deras ketika Kris tengah berbagi kisahnya sebagai buruh proyek pada Kompas.com, Senin (30/4/2012).

Saat itu, tepat pukul 17.00 Wib sore, adalah waktunya Kris bersama teman-temannya beristirahat sejenak dan berteduh dari hujan di sebuah gubuk yang dibuat dari seng-seng bekas. Mereka tampak lelah setelah bekerja dari pukul 05.00 pagi. Kalau lembur, mereka bisa bekerja hingga pukul 22.00 Wib.

Saat perbincangan dengan Kris berlangsung, ada beberapa buruh sedang tidur di atas tumpukan sak semen sambil menunggu hujan reda. Tak ada selimut hangat di situ. Mereka hanya dibalut baju lusuh dan kotor, celana yang basah terkena lumpur, serta sandal jepit atau sepatu boot butut. Buruh lainnya meringkuk sambil berbagi satu bungkus rokok kretek seharga Rp 8000an.

Mereka menyimak cerita Kris sambil sesekali tertawa, karena memiliki nasib dan cerita yang hampir serupa. "Kami semua datang dari Demak, Jawa Tengah. Niatnya cuma satu ke sini cari uang untuk anak istri," tutur Kris.

Pria yang hanya tamat SLTP ini menjadi buruh bangunan sejak 14 tahun lalu. Tahun 1998, ia menginjakkan kaki di Jakarta. Debu dan alat berat proyek sudah menjadi pemandangan sehari-harinya.

Demi mencari nafkah, Kris meninggalkan istri dan anak perempuannya yang kini duduk di kelas dua SMP. Ia pulang kampung dua bulan sekali. Untuk menghemat biaya, ia sering menumpang truk proyek yang menuju ke wilayah Jawa Tengah. "Kalau ada duit baru pulang. Kalau enggak ya cari sampai dapat," kata dia sambil menyeruput segelas kopi hitam.

Selama bekerja, Kris mengaku upahnya tak tentu, tergantung tugas yang diberikan padanya. Ia pernah hanya mendapat upah Rp 25 ribu per hari sebagai pemikul semen dari truk menuju ke tempat proyek. Jangankan untuk dikirim ke kampung halaman, upah minim itu pun tak cukup untuk biaya hidupnya selama merantau.

Saat mendapat upah kecil, Kris hanya makan satu atau dua kali sehari. Saat sarapan, ia mengisi perut dengan segelas kopi atau teh panas. Siang dan malam baru ia makan dengan porsi nasi lebih banyak, agar lebih kenyang. Lauk ikan asin, atau tempe tahu tak jadi soal baginya, yang penting perutnya terisi.

"Kadang-kadang upahnya juga telat dibagikan. Jadi saya sama teman-teman nunggu. Kalau lama, ya mogok kerja satu-dua hari biar cepat dikasih upah kami," ujar Kris sambil tertawa kecil.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com