Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nyadran, Tradisi Guyub Rukun Sebelum Ramadhan

Kompas.com - 01/06/2012, 12:35 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com - Masyarakat Dusun Sorobayan Desa Banyuurip Tegalrejo Magelang memiliki tradisi unik dalam menyambut Ramadhan. Mereka berkumpul bersama di halaman masjid dan sepanjang jalan dusun untuk berdoa dan kenduri. Tradisi itu biasa disebut nyadran atau sadranan.

Sejak pagi pukul 07.00 wib warga sudah berkumpul menggelar tikar dan daun pisang di sepanjang jalan, pun di halaman masjid sebagai pusat kegiatan. Acara dimulai dengan doa bersama (tahlil) yang dipimpin oleh sesepuh desa. "Di sini kita bersama-sama mendoakan kakek, nenek, bapak, ibu serta saudara-saudara kita yang sudah meninggal, khususnya yang dimakamkan di pemakaman dusun Sorobayan," tutur Kepala Desa Banyuurip Tegalrejo Magelang, Sudiyanto, Jum'at (1/6/2012).

Ia menceritakan, tradisi nyadran sudah dilakukan secara turun temurun. Biasanya dilangsungkan pada bulan sebelum Ramadhan. Tradisi ini, katanya, juga sebagai ungkapan syukur atas berkah yang diberikan oleh Tuhan YME. "Warga dari dusun tetangga, seperti dusun Ngepos dan Canguk juga banyak yang ikut. Kita ingin melestarikan budaya ini," ungkapnya.

Menurut sejarah, Nyadran atau Sadranan berasal dari kata Sodrun yang artinya gila/tidak waras. Pada masa sebelum datangnya Walisongo, masyarakat di Pulau Jawa banyak yang masih menyembah pohon, batu bahkan binatang, dan itu dianggap tidak waras. Ketika itu mereka menyembah sambil membawa sesaji berupa makanan dan membaca matra-mantra.

Kemudian datang para Walisongo yang meluruskan bahwa ajaran mereka salah, yang wajib disembah hanya Allah SWT. Mantra-mantra yang baca lantas diganti dengan doa-doa menurut ajaran Islam. Sedangkan sesaji diganti berupa makanan yang bisa dimakan oleh masyarakat.

"Bisa dikatakan Nyadran merupakan dakwah Islam Walisongo tanpa meninggalkan budaya lokal, di dalam Islam sendiri tidak ada tuntunannya, hanya tradisi yang sebaiknya dijadikan ajang instropeksi diri dan silaturahmi," ujar KH Nursalim, sesepuh desa setempat.

Usai berdoa, masyarakat melakukan kenduri atau makan bersama yang dilakukan di sepanjang jalan dusun. Setiap keluarga membawa makanan sendiri. Biasanya berupa makanan khas tradisonal seperti opor ayam kampung (ingkung), urap sayur, sambal goreng, rempah, perkedel dan lain sebagainya.

"Kenduri mempunyai maksud guyup atau kerukunan, pada kesempatan ini kita bisa kumpul bersama warga seluruh kampung, tidak ada beda antara yang kaya maupun miskin," tutur Nursalim.

Pada acara kenduri itu terlihat kerukunan antar warga. Mereka saling tukar-menukar makanan, bersenda gurau dan ajang melepas rindu dengan sanak keluarga yang pulang dari perantauannya. "Ya, pada tradisi nyadran ini pula keluarga yang ada diperantuan banyak yang menyempatkan diri untuk pulang kampung. Mereka rindu dengan suasana akrab seperti ini," kata Nursalim lagi.

Seperti dilakukan Arifuddin, salah seorang warga yang bekerja di Semarang, ia dan keluarga kecilnya hampir setiap tahun pulang untuk mengikuti tradisi ini. "Kebersamaan ini yang selalu kami rindukan, jarang ditemui di kota besar, kami juga ingin mengajarkan pada anak-anak untuk selalu hidup rukun dan tidak melupakan leluhurnya," ungkap Arifuddin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com