Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merawat Harapan dari Timur Nusantara

Kompas.com - 25/06/2012, 03:57 WIB

Namun, biaya sebesar itu seperti menguap karena tak satu pun yang berfungsi. Pasar kampung menganggur karena tanaman komoditas selain karet masih dirintis. Gudang pupuk kosong melompong tak didatangi penyalur. Adapun jaringan air bersih mangkrak karena dibangun tak sesuai elevasi tanah.

Daya hidup

Situasi politik lokal memang acap kali riuh dengan konflik terkait pemekaran wilayah dan pilkada. Namun, dinamika masyarakat Papua tetap mencerminkan adanya semangat untuk menuju peradaban bermartabat.

Tanpa menafikan daya kritis dan sikap skeptis, fakta di lapangan menyuguhkan cara memandang Papua dalam perspektif lebih luas dan optimistis. Tampak daya hidup masyarakat untuk melakoni proses transformasi di segala bidang. Tentu saja tidak proporsional jika hasilnya selalu diukur dengan parameter seragam (nasional).

Guru dan anak-anak di Asolokobal, Jawijaya, misalnya, tetap giat belajar-mengajar meski fasilitas persekolahan jauh dari memadai.

Dokter, perawat, dan bidan bergairah melayani warga di pelosok tanpa takut terkena malaria dan kolera. Juga tak ada rasa takut menjadi sasaran bidik pemanah dan penembak misterius. ”Niat kami tulus untuk melayani sesama, siapa takut?” ujar Agnes Barabara Kundimgo (38), bidan di Boven Digoel.

Dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok terjadi transformasi dari pola subsisten ke pola bercocok tanam dalam sebuah interaksi kultural. Selain meneruskan warisan bercocok tanam yang diwariskan Pemerintah Belanda dan misionaris, warga asli Papua terus menyerap kecakapan bertani dari transmigran asal Jawa. Ada di antara mereka yang sudah bekerja terorganisasi melalui kelompok tani, seperti yang dilakoni Saul Usion (45) dan petani lain di Biak Numfor.

Tak kalah pesatnya, sejumlah ruas jalan terbangun untuk menjawab kendala geografis dan minimnya sarana penerbangan. Dua tahun lagi, 11 ruas jalan provinsi poros utara-selatan Papua (2.739 kilometer) rampung, seperti ruas Nabire-Paniai (262 kilometer) dan Merauke-Tanah Merah (460 kilometer).

”Sebentar lagi penyaluran bahan pokok tak bergantung pesawat Twin Otter,” ujar Yunus (45), pedagang yang usahanya kerap terganggu cuaca buruk.

Bahwa di sana-sini masih ada kesenjangan dan ketertinggalan, peneliti LIPI, Muridan S Widjojo, melihat itu sebagai persoalan yang berakar dari kurangnya perhatian pemerintah pada kapasitas budaya masyarakat Papua.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com