Antony Lee dan Ambrosius Harto
Dalam perbincangan itu, Faisal berpakaian santai; kaus berkerah bermotif garis-garis dan bercelana panjang kain berwarna cerah. Di teras rumah yang lebar dengan lingkungan yang rindang dan suasana tenang itu, Faisal bertutur pelbagai persoalan Ibu Kota berikut solusi yang ditawarkan sebagai calon gubernur DKI Jakarta.
Faisal menyoroti pentingnya Jakarta berbagi peran dengan daerah sekitar dan kota-kota lain di Indonesia. Apabila mempertahankan Jakarta egois yang cuma mementingkan pertumbuhan sendiri dan jauh meninggalkan daerah lain, ”semut-semut” tetap akan datang demi mendapatkan manisnya ”kue ekonomi” Ibu Kota. Persoalan Jakarta: kemacetan lalu lintas dan kekumuhan, tetap ada dan tidak akan pernah bisa diatasi.
”Tidak boleh menjadikan Jakarta episentrum atau pusat magnet dan daerah lain menyesuaikan Jakarta dengan konsep megapolitan, dengan konsep daerah itu penyangga Jakarta. Enggak bisa itu,” tuturnya.
Dengan menjaga tidak ada ”aneksasi” atau ekspansi, Jakarta bisa mempertahankan daya dukung lingkungan. Jakarta sebaiknya memusatkan diri di sektor jasa modern. Dengan demikian, Jakarta bisa bersaing dengan ibu kota negara di Asia yang memiliki karakteristik sebagai pusat jasa modern.
Untuk mempercepat transformasi menjadi kota jasa modern, industri manufaktur bisa dibiarkan tumbuh negatif. Selanjutnya, industri dan jasa tradisional dipindahkan ke daerah tetangga guna memicu pertumbuhan ekonomi setempat.
Faisal mencontohkan, Jakarta tidak memerlukan rumah potong hewan. Jasa ini bisa dipindah ke Karawang, Jawa Barat. Di sana, hewan dipotong, dibersihkan, dipilih yang berkualitas baik untuk kemudian dibawa ke Jakarta. Di Ibu Kota, daging hewan disimpan di pasar-pasar bermesin pendingin untuk konsumsi warga atau diolah menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi. Jakarta bisa mengembangkan dan fokus di industri logistik dan pengemasan.
Karena selama ini Jakarta serakah, jasa tradisional masih dipertahankan. Sebagai konsekuensi, tenaga kerja berpendidikan rendah (kurang berketerampilan) terus berdatangan ke Jakarta dan mendapat upah murah. Akibatnya, pekerja tidak mampu mendapat tempat tinggal yang layak. Mereka membuat bedeng-bedeng ilegal yang tidak teratur. Untuk mencari perlindungan, mereka lantas membayar preman sehingga sulit ditata. ”Jadi, sudah rusak keseluruhan,” kata Faisal.