Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

NU Jatim: "Sweeping" Hak Polisi

Kompas.com - 21/07/2012, 16:35 WIB
Agus Mulyadi

Penulis

SURABAYA, KOMPAS.com - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menyatakan, sweeping pada sejumlah lokasi keramaian selama Ramadhan merupakan hak polisi.

"Itu hak polisi. Enggak bagus kalau umat Islam merebut yang bukan hak. Hak kita sebatas membantu, mengusulkan, atau mengontrol polisi," kata Rais Syuriah PWNU Jatim, KH Miftachul Akhyar, di Surabaya, Sabtu (21/7/2012) ini.

Pengasuh Pesantren Miftachussunnah, Kedungtarukan, Surabaya, itu menilai sweeping Ramadhan justru mengesankan umat Islam mencampuri urusan aparat penegak hukum.

"NU tidak menyalahkan, tapi kita mendudukkan sesuatu sesuai porsi. Semangatnya bagus, tapi ’sweeping’ itu sangat mungkin diprovokasi orang lain untuk menyudutkan citra Islam sendiri," katanya.

Ditanya kemungkinan organisasi kemasyarakatan yang melakukan sweeping Ramadhan itu dibubarkan agar tidak merusak citra Islam, dia mengatakan hal itu tidak perlu.

"Pembubaran itu bukan solusi, tapi cukup diingatkan agar kembali kepada porsi yang menjadi hak masyarakat dan hak polisi, sebab bila dicampur-campur akan menyudutkan citra Islam sendiri," ujar KH Miftachul Akhyar.

Menurut dia, Islam memang mengajarkan amar makruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kejahatan), tapi cara melakukan ajaran itu bukan dengan munkar (cara yang jahat) pula.

"Di mana-mana, orang yang lembut dan orang yang keras itu ada, tapi sebaiknya didekati dengan persuasi bukan dengan pembubaran, sebab solusi terbaik ada sinergi antara pelaku sweeping dengan polisi," katanya.

Tentang perbedaan awal Ramadhan yang sering terjadi dan kemungkinan hal itu perlu disatukan, dia mengatakan, perbedaan awal Ramadhan itu merupakan hal yang sudah terjadi sejak zaman Sahabat Nabi.

"Sahabat Muawiyah pernah berbeda awal Ramadhan dengan Ibnu Abbas. Lalu Ibnu Abbas menyatakan hal itu  sesuai dengan nabi. Karena itu, NU tidak mempersoalkan adanya perbedaan itu," katanya.

Ia menilai, perbedaan yang disatukan itu memang baik untuk persatuan Islam, tetapi hal itu sama dengan melawan takdir dan menyimpulkan ajaran Islam tidak cerdas. Perbedaan itu sebuah keniscayaan dari duniawi.

"Bisa saja disamakan, tetapi pasti akan tetap ada yang tidak sama karena mungkin informasinya tidak sampai atau informasi itu sampai, tetapi memang ada perbedaan waktu antara dunia belahan barat dan timur," kata KH Miftachul Akhya.

Karena itu, cara terbaik menyikapi perbedaan adalah saling menghormati dan tidak memaksakan kehendak. "Perbedaan yang dipaksa sama itu justru memaksakan kehendak dari melawan takdir dari dunia," katanya.  


Sumber: Antara

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com