Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Musim Mudik, Pungli Masih Merajalela

Kompas.com - 10/08/2012, 15:49 WIB

KOMPAS.com - Jalan rusak bagi sebagian orang rupanya ladang rezeki. Di situlah mereka berpeluang menarik pungutan tanpa alasan dari para pengemudi angkutan penumpang dan barang yang melintas. Alhasil, semua kendaraan melambat dan berpotensi menciptakan kemacetan baru.

Tim Lebaran Kompas 2012 yang awal Agustus ini menelusuri jalan lintas tengah dan lintas pantai timur trans-Sumatera menyaksikan praktik tersebut di beberapa ruas jalan. Di Kecamatan Gunung Sugih, Kabupaten Lampung Tengah, misalnya, sejumlah pemuda memaksa sopir truk dan angkutan penumpang untuk membeli air kemasan atau memasang bendera Merah Putih berukuran kecil di kaca spion. Umumnya pengemudi menolak dan memilih langsung memberi uang lembaran antara Rp 1.000 dan Rp 5.000.

Di Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah, praktik serupa terjadi. Orang tua dan remaja menyodorkan kotak sumbangan berupa kardus kemasan air mineral. Nilai ”sumbangan”-nya beragam, mulai dari Rp 1.000 hingga Rp 2.000 per pengemudi.

Di kawasan Way Jepara, Lampung Timur, praktik pungutan liar juga masih ada, bahkan boleh dibilang semakin marak. Dua pemuda membawa botol air mineral kemasan dan bendera Merah Putih kecil berdiri tepat di tengah jalan. Meskipun ruas jalan tersebut secara keseluruhan dapat dikatakan mulus, sebagian ruas jalan tempat berdiri beberapa oknum pemuda itu terlihat rusak, bergelombang, juga berlubang. Memanfaatkan kerusakan jalan itu, mereka dengan mudah mencegat dan ”menawarkan” dagangannya secara paksa.

Tak jauh dari itu, sejumlah petugas berpakaian dinas sebuah kementerian juga ikut-ikutan melakukan praktik tak terpuji tersebut. Mereka berdiri di tengah jalan dan memunguti uang dari para pengemudi truk dan angkutan penumpang tanpa memberi tanda terima apa pun. Di pinggir jalan di bawah sebuah pos, rekan-rekannya sesama petugas berseragam duduk beristirahat.

Agus (37), seorang pengemudi truk lintas Jawa-Sumatera, yang ditemui Kompas di Kecamatan Gunung Sugih, Lampung Timur, mengaku sudah menjadi langganan aksi premanisme tersebut. ”Uang jalan kami harus lebih besar untuk persiapan melintasi jalintim (jalur lintas timur) dan jalinpatim (jalur lintas pantai timur). Kalau tidak, kami tidak bisa antar barang,” kata pengemudi asal Jakarta itu.

Menurut Agus, jika pengemudi tidak mau membeli bendera atau air kemasan botol, mereka tetap harus bayar Rp 2.000. ”Jual air kemasan dan bendera cuma pura-pura saja,” ujar Agus yang sudah bertahun-tahun menjalani rute Jakarta-Medan.

Sulit bagi pengemudi untuk menolak permintaan itu karena ”penjual” akan mengejar dan memaksa pengemudi untuk membayar. ”Apalagi setiap kali kami selalu melintas kawasan ini. Hari ini bisa saja aman, besok-besok tak ada yang jamin karena kendaraan kami, kan, harus lewat jalan itu lagi,” ujarnya.

Jembatan timbang

Secara terpisah, Durmin Aryanto (54), pengemudi asal Cirebon, Jawa Barat, yang kerap melintasi jalur trans-Sumatera, punya cerita yang sama. ”Pemerasan” kepada pengemudi tak hanya di tengah jalan yang rusak atau diberi penghalang, tetapi juga di tempat resmi, seperti di jembatan timbang.

”Siap-siap saja sopir harus mel (bayar) kelebihan beban ratusan ribu rupiah kepada oknum petugas di jembatan timbang. Harusnya kalau kelebihan barang, barangnya diturunkan saja dan disita. Biar perusahaan pengirim barangnya dapat pelajaran. Ini malah bayar. Uangnya pasti tidak masuk ke negara, melainkan kantong petugas,” kata Durmin, Senin (6/8), di Jakarta.

Untuk kelebihan barang setiap 1 ton di jembatan timbang, Durmin mengaku harus membayar Rp 300.000. Di Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni, pungutan tak resmi juga terjadi ketika kendaraan antre sangat panjang. Supaya bisa masuk kapal terlebih dulu, Durmin juga harus menyogok petugas.

”Pokoknya, antara Rp 2 juta dan Rp 2,5 juta harus siap untuk bayar macam-macam di tengah perjalanan,” kata Durmin, yang akhir Juli lalu baru kembali dari Medan, Sumatera Utara, dengan membawa barang Pertamina.

Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Lampung Albar Hasan saat dikonfirmasi Kompas, Rabu (8/8), membenarkan ada praktik pungli oleh oknum warga. ”Kasus itu diserahkan ke polsek-polsek (kepolisian sektor) setempat. Jadi, bukan urusan kami. Kami hanya mengatur transportasi jalan saja,” ujarnya.

Menurut Albar, praktik pungli seperti itu tak akan ada lagi seminggu sebelum Lebaran. ”Nanti, H-7, tidak boleh lagi ada praktik-praktik seperti itu, apa pun namanya, termasuk pungutan di jembatan timbang. Polisi akan melakukan pemantauan dan menindak para pelakunya jika masih berlangsung,” ujarnya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com