Manado, Kompas -
Bupati Sangihe Hironimus R Makagansa di Tahuna, Kepulauan Sangihe, Selasa (21/8), mengatakan, ekspor perdana sabut kelapa adalah hal baru yang dilaksanakan dari industri kelapa di daerahnya. Selama ini Sangihe hanya menjual kopra ke Manado dan Surabaya.
”Mudah-mudahan ekspor sabut kelapa memberi kemajuan ekonomi daerah kami,” katanya.
Kabupaten Sangihe baru enam bulan memiliki pabrik pengolah sabut kelapa yang dibangun pihak swasta. Pabrik sabut kelapa berdiri di Naha di atas tanah 2 hektar dengan mempekerjakan 32 tenaga kerja dari daerah.
Seunal Thungari, pemilik pabrik sabut kelapa, mengatakan, bahan baku sabut kelapa melimpah di Sangihe, namun tidak dimanfaatkan. Ketika pihaknya melakukan pembelian sabut kelapa masyarakat heran. ”Dulu gonofu (sabut kelapa) hanya dibuang sekarang kami beli,” katanya.
Biasanya sabut kelapa hanya dibuang percuma oleh masyarakat ataupun dijadikan bahan bakar rumah tangga. Pedagang membeli sabut kelapa dengan harga Rp 300 per kilogram.
Bisnis sabut kelapa menguntungkan karena setelah diolah harga sabut kelapa sekitar Rp 3,7 juta per ton.
Sabut merupakan bagian mesokarp (selimut) kelapa, berupa serat-serat kasar. Sabut biasanya menjadi limbah yang hanya ditumpuk di bawah tegakan tanaman kelapa lalu dibiarkan membusuk atau kering. Pemanfaatannya paling banyak hanyalah untuk kayu bakar.
Secara tradisional, masyarakat telah mengolah sabut untuk dijadikan tali dan dianyam menjadi keset. Padahal sabut masih memiliki nilai ekonomis cukup baik. Sabut kelapa diolah menghasilkan serat sabut (cocofibre) dan serbuk sabut (cococoir). Namun produk inti dari sabut adalah serat sabut.
Dari produk serat sabut akan menghasilkan aneka macam produk derivatif yang banyak manfaatnya, termasuk berupa pupuk organik.