Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perginya Penopang Hidup Kami...

Kompas.com - 24/08/2012, 14:10 WIB

KOMPAS.com - Rohaya (30) memandangi anak bungsunya, Langgeng Dwi Permana (6), menyantap sepiring mi kuah. Anak sulungnya, Ridwan Budi Saputra (12), tengah duduk di atas amben tak jauh dari sang ibu. Baru tiga jam mereka tiba di Kampung Jati Cempaka, Pondok Gede, Bekasi.

Rohaya dan kedua anaknya, Kamis (23/8/2012), baru pulang dari kampung halaman almarhum suaminya, Sugiyono (39), di Dusun Winong, Desa Temon, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Sugiyono baru saja dimakamkan Sabtu lalu, sehari menjelang Lebaran, karena meninggal dalam kecelakaan.

Minibus yang dikendarainya bertabrakan dengan bus Garuda Mas dan sebuah mobil lain di Kendal, Jawa Tengah. Rohaya tidak sempat menyaksikan pemakaman jenazah suaminya karena terjebak macet arus mudik yang memakan waktu dua hari. Masih terngiang celotehan si bungsu saat ditunjukkan kuburan ayahnya, ”Mak, kasihan Bapak tidur sendirian di situ, dingin.”

Sugiyono beserta enam penumpang minibus lainnya meninggal dunia. Hanya dua penumpang yang selamat. Saat itu, Sugiyono mengemudikan mobil bagi keluarga Slamet Budiono yang hendak mudik ke Sragen, Jawa Tengah. Malang, di tengah jalan, mobil mereka terlibat kecelakaan hebat.

”Suami saya sebelumnya bekerja sebagai sopir angkot. Baru tiga tahun ini jadi sopir di tempat Pak Slamet. Setiap tahun, almarhum bertugas mengantar keluarga Pak Slamet mudik, sekalian ia mampir di Wonogiri. Saya dan anak-anak tidak bisa mudik karena ongkos ke sana besar,” kata Rohaya.

Kepergian Sugiyono merupakan sebuah kehilangan besar bagi Rohaya dan anak-anaknya. Sugiyono bukan hanya sosok kepala keluarga, tetapi juga penopang hidup keluarga mereka satu-satunya. Rohaya menyambi menjadi buruh cuci dan setrika.

Namun, penghasilannya hanya Rp 300.000 per bulan. Hanya cukup untuk menambah gaji suami sebesar Rp 1 juta per bulan. Slamet Budiono adalah pengusaha katering yang juga tetangganya di Jati Cempaka.

”Penghasilan kami hanya cukup untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah. Tidak pernah bisa menabung. Kalau ada kebutuhan besar, terpaksa harus berutang, seperti kemarin harus bayar Rp 700.000 untuk uang seragam anak masuk SMP,” kata Rohaya.

Rohaya tinggal di rumah petak di sebelah rumah orangtuanya di Jati Cempaka, Pondok Gede. Rumahnya hanya berukuran 3 meter x 6 meter yang dibagi tiga sekat: ruang depan, ruang tidur, dan kamar mandi.

Kini, Rohaya harus menggantikan peran sang suami sebagai tulang punggung keluarga. Ia bermimpi bisa mendapat modal untuk buka warung agar setidaknya ada penghasilan harian untuk mengepulkan asap dapur.

Kehilangan putra

Kalau Rohaya kehilangan suami, Sukino (65) kehilangan putranya, Sugiyono. Hingga kini, duka masih menyelimuti rumah Sukino. Meskipun Kamis malam dilakukan tahlilan, Sukino masih tak bisa melupakan Sugiyono.

Sugiyono meninggal dunia bersama enam pemudik lainnya dari Jakarta saat melintas di Jalur Lingkar Kaliwungi, Kendal, Jawa Tengah, Sabtu dini hari lalu. Minibus L300 bernomor polisi B 2806 MB yang mereka tumpangi dihantam bus Garuda Mas E 7936 HA yang melaju dari arah berlawanan.

Sejak 12 tahun silam, Sugiyono sudah merantau ke Jakarta. Di Ibu Kota, lelaki yang hanya tamat SMP itu menjalani berbagai pekerjaan nonformal, mulai dari buruh pabrik, sopir angkot, hingga pengantar katering.

Merantau ke kota besar seperti Jakarta, Semarang, Solo, dan Yogyakarta menjadi hal umum dilakukan oleh warga, khususnya generasi muda di Kecamatan Baturetno. Itulah yang dijalani almarhum.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com