Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wisata Edukasi Rumah Pompa

Kompas.com - 29/08/2012, 05:25 WIB

Oleh M Clara Wresti

Rasa iri, kagum, dan akhirnya gemas membuncah ketika melihat hasil pembangunan Singapura selama hampir 40 tahun. Negara yang luasnya kurang lebih sama dengan luas Jakarta itu berhasil membangun kotanya menjadi kota yang sangat modern dan patokan dunia sebagai kota yang layak huni dan berkelanjutan di masa depan. 

Kemajuan Singapura memang sudah bukan hal baru. Namun, kemajuan yang diraihnya saat ini benar-benar membuat kagum dan respek terhadap pemerintah negara tersebut. Apa pun yang tidak ada di negara tersebut, berhasil diwujudkan.

Menurut Helen Clark, Administrator Badan Program Pembangunan PBB (UNDP), kunci keberhasilan dari pembangunan di Singapura adalah pemerintahan yang bersih dari korupsi. Semua anggaran yang dimiliki juga dipakai untuk membangun kota agar kota tetap bisa dihuni dengan nyaman hingga kapan pun.

Dimulai dari sungai

Pembangunan di Singapura berawal dari tahun 1977, ketika Perdana Menteri (PM) Lee Kuan Yew memerintahkan untuk membersihkan sungai-sungai yang ada di Singapura. Saat itu, kondisi sungai di Singapura tidak jauh berbeda dengan kondisi Sungai Ciliwung. Warnanya hitam, penuh sampah, dan berbau menyengat.

Lee Kuan Yew turun tangan sendiri, ikut membersihkan Sungai Singapura dan Kallang Basin. Dia turun tangan agar semua warga Singapura ikut serta ambil bagian dalam kegiatan tersebut.

”Ketika pembangunan akan dilakukan, Anda tidak tahu apa yang harus dilakukan pertama kali. Singapura tidak hanya kekurangan dalam infrastruktur, suplai air bersih, suplai listrik, tetapi juga nasionalisme. Ketika kita bertemu dengan etnis China, mereka akan bilang bahwa kampung halaman mereka ada di China. Lalu bertemu dengan orang India, mereka juga bilang kampung halamannya di India. Ketemu orang Melayu, kampung halaman mereka ada di Malaysia,” kata Liu Thai Ker, mantan CEO Housing and Development Board.

Proyek pembersihan sungai itu selesai dalam waktu 10 tahun.

Perumahan dan limbah

Di saat bersamaan, Pemerintah Singapura menata perumahan dan pembuangan air limbah. Air limbah tidak dibuang ke sungai, tetapi ke saluran khusus yang dialirkan ke tempat pengolahan limbah.

Untuk limbah padat manusia dibuang ke laut dalam. Dengan pengolahan limbah ini maka tidak ada pencemaran di sungai.

Saat program bersih-bersih sungai itu selesai, PM Lee memprediksikan dalam waktu 20 tahun sungai-sungai di Singapura bisa dijadikan sumber air baku bagi suplai air bersih.

Kini, ucapan PM Lee menjadi kenyataan. Seluruh air yang berasal dari dua pertiga daerah tangkapan di Singapura ditampung di Marina Barrage.

Marina Barrage terletak di kawasan baru Marina Bay. Kawasan ini dibangun dari reklamasi yang dilakukan sejak tahun 1980-an. Selain Marina Barrage, di kawasan yang terletak di bagian selatan Singapura ini juga terdapat Gardens by Bay, Hotel Marina Bay Sands, pusat bisnis, apartemen mewah, dan sebagainya.

Marina Barrage sebenarnya rumah pompa. Jadi di muara Sungai Singapura dibuat pintu air yang mengatur ketinggian air. Seluruh air yang berasal dari air hujan, karena air dari pembuangan limbah tidak dialirkan ke sungai, ditampung di danau besar di kawasan Marina Bay.

Rumah pompa itu mengatur agar di musim kemarau ketinggian air tetap terjaga sehingga tetap cantik untuk dilihat. Di musim hujan, pintu air dibuka sehingga mencegah banjir di kawasan kota.

Manyimpan setiap tetes air

Public Utilities Board (PUB), badan yang mengurus ketahanan air di Singapura, membangun Marina Barrage dengan tiga tujuan. Pertama, untuk menyimpan semua tetes air hujan yang jatuh di atas Singapura. Kedua, menciptakan sistem yang bisa menggantikan setiap tetes air yang digunakan, dan yang ketiga mengolah kembali air yang bekas pakai.

Ketiga tujuan itu menunjukkan fungsi utama dari Marina Barrage. Namun, di sisi lain, Marina Barrage juga mempunyai fungsi, yakni sebagai ruang terbuka hijau bagi warga Singapura. Di sepanjang muara sungai yang menyerupai danau itu dibuat pedestrian untuk warga Singapura berjalan kaki, lari pagi, atau bercengkerama dengan keluarga di tepi danau. Mereka bisa menikmati air Marina di kafe-kafe cantik yang terletak di tepinya.

Selain itu, dibangun juga Art Science Museum, panggung yang memakai sistem hidrolik sehingga bisa dibuat hingga empat lantai, patung Merlion, dan sebagainya.

Museum Ketahanan Air

Gedung Marina Barrage sendiri tidak sekadar rumah pompa saja. Di Marina Barrage dilengkapi museum yang bercerita tentang ketahanan air. Di sana juga terdapat replika kecil mengenai cara kerja pintu air tersebut. Banyak siswa Singapura diajak ke sana untuk mempelajari bagaimana Singapura menjaga ketahanan airnya.

Yang lebih menarik lagi, di atap gedung Marina Barrage tidak lagi berupa beton yang berisi mesin-mesin untuk perlengkapan keperluan gedung, tetapi ditanami rumput hijau. Di atas gedung itu warga Singapura bisa berjalan-jalan atau piknik, bahkan bermain layangan di atas gedung tersebut.

Atap gedung itu sudah menjadi areal publik yang sangat digemari warga Singapura. Tempat ini tidak hanya memenuhi kebutuhan tubuh, tetapi juga kebutuhan jiwa warga Singapura.

Jakarta jauh tertinggal

Kembali ke dunia nyata, maksudnya, Kota Jakarta. Bukan berarti Jakarta tidak ingin mencapai apa yang telah dicapai Singapura. Jakarta juga ingin menjadi kota yang menyenangkan untuk dihuni hingga seratus atau dua ratus tahun ke depan. Namun, dengan kondisi fisik dan psikis yang berbeda, Jakarta harus bekerja keras untuk mengejar ketertinggalannya.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, saat ini, sedang menyusun rencana induk pembuatan Giant Sea Wall di Teluk Jakarta, bekerja sama dengan Rotterdam. Dinding raksasa yang akan mulai dibangun tahun 2025 ini akan menampung semua air sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pernah mengatakan, Jakarta bisa menjadi seperti Singapura asalkan dikelilingi laut. ”Kalau Jakarta dikelilingi laut seperti Singapura, tentu pekerjaan saya sebagai gubernur akan semakin mudah,” kata Fauzi, dalam sebuah sidang paripurna di DPRD DKI Jakarta.

Ucapan Fauzi ini terlontar mengingat tingginya angka urbanisasi di Jakarta. Dengan adanya urbanisasi, beban kota terus bertambah.

Deputi Gubernur bidang Transportasi, Industri dan Perdagangan DKI Jakarta Sutanto Soehodho mengatakan, pemerintah pusat seharusnya juga memikirkan mengirim ”gula” ke luar Jakarta. Maksudnya, membangun daerah lain agar arus urbanisasi tidak hanya mengalir ke Jakarta, tetapi juga ke daerah-daerah lain.

”Sebanyak apa pun infrastruktur dibangun di Jakarta jika jumlah orang bertambah terus, maka infrastruktur tidak akan pernah mencukupi. Akibatnya, Kota Jakarta tidak kunjung menjadi kota yang nyaman untuk dihuni,” kata Sutanto.

Di luar masalah urbanisasi yang tergantung pada pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga harus terus membenahi diri dengan berkomitmen pada pembangunan antikorupsi.

Antikorupsi jangan hanya menjadi jargon, tetapi harus diwujudkan, mulai dari pejabat tingginya hingga ke tingkat yang paling rendah. Dengan demikian, anggaran pembangunan yang dikumpulkan dari uang rakyat benar-benar dipakai untuk membenahi Kota Jakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com