Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peringatan dari Anak Krakatau

Kompas.com - 04/09/2012, 05:04 WIB

Gunung Anak Krakatau kembali meletus dan melontarkan lava pijar sejak Minggu (2/9) hingga Senin. Gempa vulkanik dalam dan dangkal terus terjadi, tetapi masyarakat Lampung dan Banten menganggapnya biasa. Mereka telah melupakan peristiwa 123 tahun silam ketika Krakatau meletus hebat dan mengirim petaka yang menewaskan puluhan ribu jiwa.

Hampir setiap tahun Anak Krakatau meletus. Ritual ini menandai keaktifan gunung yang tumbuh cepat dari dasar laut ini. ”Anak Krakatau gunung api muda, harus sering meletus supaya besar dan tinggi,” kata Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono.

Tahun lalu, gunung ini juga krisis dan menimbulkan kekhawatiran Surono karena tiap menit rata-rata mengirim lima kali gempa. ”Dalam sehari bisa lebih dari 5.000 gempa,” katanya. Namun, Anak Krakatau berangsur tenang, hingga mulai meletus lagi saat ini.

Anak Krakatau memang kerap meletus, lalu kembali tertidur, lalu meletus lagi. Gunung ini dalam tahap membentuk tubuh gunung. Akankah Anak Krakatau kembali meletus hebat sebagaimana leluhurnya dulu?

”Ya, pasti suatu saat akan terjadi letusan besar,” kata Surono. Kapan? Itu masih misteri.

Surono mengingatkan, Indonesia memiliki sejumlah gunung api yang letusannya tercatat terbesar dalam sejarah. Letusan Tambora tahun 1818 dan Krakatau pada 1883 merupakan dua letusan hebat yang menyebabkan korban jiwa sekitar 126.000 jiwa. ”Ini identik 55 persen korban total dari seluruh letusan gunung api di dunia yang tercatat dalam sejarah,” ujarnya.

Pertumbuhan

Sejak kelahirannya pada 29 Desember 1927, Anak Krakatau tumbuh pesat. Berdasarkan pengukuran topografi (Suhadi dkk, 2004), selama 21 tahun Krakatau mengalami penambahan luas daratan dan ketinggian yang cepat. Pada 1983, luasnya 156,75 hektar (ha) dengan ketinggian 201,5 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tahun 2004, luasnya menjadi 212,5 ha dan tinggi 286,63 mdpl.

Cepatnya pertumbuhan Anak Krakatau tak lepas dari keaktifan geologi di kawasan ini. Anak Krakatau berada di wilayah tumbukan atau subduksi, antara kerak dasar Samudra Indo-Australia dan kerak Benua Asia. Di daerah ini, gunung api mempunyai daya tumbuh intrusif sebesar 93 persen dan secara ekstrusif 7 persen (Wohletz dan Heiken, 1972; Winchester, 2003).

Pertumbuhan intrusif mencerminkan besarnya volume magma yang menerobos kulit bumi dan kemudian membentuk batuan beku terobosan di bawah gunung api. Pertumbuhan secara ekstrusif adalah erupsi magma ke permukaan bumi, baik secara eksplosif maupun secara leleran, menghasilkan bahan piroklastika dan aliran lava, yang pada akhirnya akan membangun tubuh kerucut gunung api.

Peringatan 1883

Saat Anak Krakatau kembali menggeliat pada Minggu pagi, T Bachtiar tengah berlayar menuju Anak Krakatau. Ia bermaksud napak tilas letusan Krakatau 27 Agustus 1883 atas penugasan dari Geomagz, majalah geologi yang diterbitkan Badan Geologi, Bandung.

”Anak Krakatau sudah sangat dekat. Kami melewati Rakata ketika tiba-tiba Anak Krakatau mengeluarkan asap menandai awal letusan,” ungkap Bachtiar, penulis ilmu kebumian ini.

”Kami berputar ke arah utara, bertemu nelayan di sana. Mereka rupanya tenang-tenang saja,” kata Bachtiar, yang sempat mendarat di Anak Krakatau, sebelum kembali ke Caringin, Banten.

Letusan Anak Krakatau memang dianggap biasa oleh warga setempat. ”Warga Carita dan Caringin menganggap itu biasa,” lanjutnya. ”Masalahnya, bagaimana jika suatu saat terjadi letusan besar? Sementara jalur evakuasi di sana tidak ada, bangunan wisata tidak dirancang aman tsunami.”

Pantauan tim Ekspedisi Cincin Api Kompas yang menyusuri kawasan ini, beberapa waktu lalu, juga menunjukkan minimnya kesiapsiagaan. Petaka tsunami setinggi 25 meter yang pernah melanda kawasan ini saat Krakatau meletus 1883 nyaris tak terlihat jejaknya. Bagi pelaku wisata, Gunung Anak Krakatau dan aktivitas vulkaniknya tak lebih dari aset wisata.

Cara pikir masyarakat di pesisir Banten dan Lampung mengingatkan pada keadaan sebelum letusan Krakatau 1883, seperti ditulis Simon Winchester dalam bukunya, Krakatoa (2003). ”Memang setiap orang mendengar cerita letusan di zaman kuno, dan ada orang yang mengamati peta dan beranggapan mereka pernah mendengar cerita ketika Jawa dan Sumatera merupakan satu pulau yang lalu terbelah dua akibat peristiwa vulkanik mahadahsyat di zaman dahulu,” tulis Winchester. ”Namun, sebagian orang waktu itu beranggapan Krakatau sudah lama padam dan tidak lagi berbahaya.”

Letusan-letusan kecil Anak Krakatau saat ini sesungguhnya peringatan untuk meningkatkan kesiapsiagaan.... (AHMAD ARIF)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com