JAKARTA, KOMPAS.com - Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) menyebutkan terdapat tujuh titik rawan permasalahan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Titik-titik rawan ini masih berpotensi mengakibatkan permasalahan dan pelanggaran, serta menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggara Pilkada, bila tidak dikawal dengan partisipasi oleh warga DKI Jakarta.
"Titik permasalahan utama dari Pilkada adalah politik uang. Tetapi tidak melulu masalah itu yang ditemukan dalam Pilkada, melainkan ada permasalahan lain yang membuat pemilukada juga menjadi sangat rawan. Jadi, kita juga harus fokus kepada tujuh titik rawan permasalahan Pilkada," kata Koordinator Nasional JPPR Yustrifiadi.
Hal itu dikatakannya dalam seminar Perludem dengan tema Bersama Mengawal Putaran Dua Pilkada Jakarta: Pemilu Jakarta Antipolitik Uang, di Hotel Akmani, Jakarta, Kamis (13/9/2012).
Ketujuh titik rawan Pilkada itu antara lain, permasalahan daftar pemilih tetap (DPT), penggunaan dana kampanye, mobilisasi aparatur negara, pencoblosan dengan menyobek gambar pasangan calon, munculnya Forum e-Democracy (FeD), Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta.
Terkait permasalahan DPT, Yustrifiadi mengatakan akan memungkinkan terjadi kembali permasalahannya dalam putaran kedua.
"Yaitu dari pergantian KTP dengan e-KTP yang menimbulkan perbedaan nomor induk kependudukan. Padahal yang tercantum dalam DPT adalah NIK KTP," kata Yusfitriadi.
Selanjutnya, yang dianggap rawan terjadi pelanggaran di putaran kedua adalah mobilisasi aparatur negara. Tidak hanya PNS, melainkan juga mobilisasi aparatur kelurahan, RW dan RT untuk memenangkan pasangan calon.
"Ini harus diimbangi dengan peningkatan kinerja KPU DKI dan Panwaslu DKI Jakarta dalam mengawal pelaksanaan putaran kedua. Pengawalan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu merupakan suatu tindakan yang wajib dilakukan demi tercapainya Pemilu yang berkualitas," ujarnya.
Selain itu, masalah penggunaan dana kampanye pada putaran kedua. Karena besarannya tidak diatur, dana kampanye pasangan calon bisa dikucurkan besar-besaran, bahkan terkesan pasangan calon habis-habisan mengeluarkan dana kampanye.
"Kondisi ini akan berimplikasi terhadap banyak hal, seperti politik uang, penyalahgunaan jabatan, mobilisasi pemilih dan masalah lainnya," ujar Yusfitriadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.