Jakarta, Kompas -
Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama unggul atas pasangan petahana Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dalam pemilihan pada 20 September.
”Kalau kami sedikit saja melenceng, tolong segera diluruskan. Melenceng 1 derajat kalau jalan 1 meter barangkali tidak kelihatan, tapi kalau 1 kilometer pasti kelihatan,” kata Basuki dalam diskusi Polemik, di Jakarta, Sabtu (22/9).
Basuki juga mengundang semua pihak yang peduli untuk ikut berpartisipasi memberikan masukan demi Jakarta yang lebih baik. ”Jika sudah ditetapkan, kami minta masukan, juga pengawasan. Kami tidak akan bosan- bosan menerima masukan,” katanya.
Ia juga menghendaki adanya monitor terhadap semua keputusan yang akan mereka buat. ”Jangan sampai kami salah melakukan eksekusi-eksekusi sehingga kami cepat memperbaikinya,” ujar Basuki.
Basuki mengatakan, ia tidak ingin dikenang sebagai wakil gubernur paling buruk dalam sejarah pemerintahan di DKI Jakarta. Untuk itu, ia bersama Joko Widodo akan bekerja keras.
Di tempat yang sama, sejarawan Universitas Indonesia, JJ Rizal, mengatakan, pasangan Joko Widodo dan Basuki memiliki tugas berat untuk membenahi Jakarta. Salah satunya adalah membenahi mesin birokrasi.
”Birokrasi Jakarta itu sudah seperti ’mandor kawat’, kerja kendor, korupsi kuat. Ini menjadi tantangan yang harus diperbaiki,” ujarnya.
Menurut Rizal, meski berat, bukan berarti persoalan di Jakarta tidak bisa diselesaikan. ”Persoalan Jakarta itu akumulasi dari persoalan lama. Namun, persoalan Jakarta itu bukan berarti tidak bisa diselesaikan. Persoalannya, dari kita dan elite itu sering berpikir bahwa masalah-masalah itu ’takdir’. Ini kesalahan persepsi,” lanjutnya.
Berdasarkan kajian sejarah permasalahan di Jakarta seperti banjir sejak abad kelima telah terjadi. Diperlukan perubahan persepsi bahwa masalah ini bisa diselesaikan.
Pembenahan di Jakarta, menurut Rizal, juga bukan soal uang. Ia mencontohkan Gubernur Ali Sadikin dulu yang tidak memiliki banyak uang dalam membangun Jakarta, tetapi relatif berhasil karena kerja keras.
”Pada masa Ali Sadikin itu punya kas cuma Rp 44 juta. Bayangkan, persoalan begitu hebat, pemerintah pusat tidak mau tahu. Tetapi, satu kata yang saya ingat dari Bang Ali saat saya tanya apa yang membuatnya berhasil. Ia bilang, ’Gue kerja. (Gubernur) yang lain kagak’.”
Kata ”kerja” ini adalah kunci. ”Yang kita perlukan adalah pejabat yang bekerja. Bukan ’mandor kawat’,” papar Rizal.
Namun, pakar psikologi politik Hamdi Muluk mengingatkan agar semua pihak tidak terjebak pada glorifikasi, membesar-besarkan, atau mistifikasi.
Kemenangan Joko Widodo-Basuki adalah koreksi terhadap bias-bias praktik politik. Ini adalah contoh kembalinya politik akal sehat di Indonesia.
”Politik itu tidak harus berporos pada pusaran kekuatan uang, kekuasaan, intrik-intrik politik,” ujarnya.